01 September 2024

Populasi Dunia Terus Menyusut, Bagaimana Dampaknya ke Lingkungan?

Populasi di China. (Foto: AP/Andy Wong)

Secara global, para ahli memperkirakan penyusutan populasi akan mulai terjadi pasca pertumbuhan penduduk mencapai puncaknya di lebih dari 10 miliar pada 2060. Tren semacam ini dinilai sudah terjadi di negara-negara maju.

Jepang, misalnya. Populasi di Negeri Sakura menurun tajam dengan kehilangan sekitar 100 orang setiap jam. Begitu pula di Eropa, Amerika, Asia Timur, angka kelahiran juga tercatat menurun.

Banyak negara berpenghasilan menengah atau rendah juga disebut bakal mengalami penurunan populasi.

Selama 50 tahun, beberapa pemerhati lingkungan telah mencoba menyelamatkan lingkungan dengan memangkas pertumbuhan populasi global. Pada 1968, The Population Bomb meramalkan kelaparan besar-besaran dan menyerukan pengendalian kelahiran skala besar.

Kini, dunia menghadapi kenyataan yang sangat berbeda, pertumbuhan populasi melambat tanpa pengendalian populasi. Populasi menurun memicu negara-negara kaya panik, membuat kebijakan yang sebagian besar tidak efektif untuk mendorong lebih banyak anak.

Dunia Sudah 'Depopulasi'?

Andrew Taylor Associate Professor Demografi di Northern Institute, Charles Darwin University menyebut di sebagian besar Eropa, Amerika Utara, dan sebagian Asia Utara, depopulasi telah berlangsung selama beberapa dekade. Angka kesuburan terus menurun selama 70 tahun terakhir dan tetap rendah, sementara harapan hidup yang lebih panjang atau jumlah lansia (di atas 80) akan berlipat ganda di wilayah-wilayah ini dalam waktu 25 tahun.

Baru-baru ini, China dengan populasi terpadat di dunia, seperenam dari populasi global, juga mengalami penurunan. Pada akhir abad ini, China diproyeksikan memiliki dua pertiga lebih sedikit penduduk daripada 1,4 miliar saat ini.

"Penurunan yang tiba-tiba disebabkan oleh kebijakan satu anak. Kebijakan ini berakhir pada 2016, terlalu terlambat untuk mencegah penurunan tersebut. Jepang pernah menjadi negara terpadat ke-11 di dunia, tetapi diperkirakan akan berkurang setengahnya sebelum akhir abad ini," terang dia, dikutip dari CNA.

Apa yang terjadi dikenal sebagai transisi demografi. Ketika negara-negara beralih dari negara yang sebagian besar pedesaan dan agraris menjadi ekonomi berbasis industri dan jasa, tingkat kelahiran menurun tajam. Ketika angka kelahiran rendah dan angka kematian rendah digabungkan, populasi mulai menurun.

Mungkinkah Baik untuk Lingkungan?

"Lebih sedikit dari kita berarti penangguhan hukuman bagi alam, bukan? Tidak. Tidak sesederhana itu," sebut Supriya Mathew, peneliti pascadoktoral dalam perubahan iklim dan kesehatan di Charles Darwin University.

Misalnya, jumlah energi per kapita yang seseorang gunakan mencapai puncaknya antara usia 35 dan 55 tahun, turun, lalu naik lagi mulai usia 70 tahun ke atas, karena orang lebih tua cenderung lebih lama tinggal di dalam rumah dan tinggal sendiri di rumah lebih besar. Pertumbuhan populasi yang luar biasa pada abad ini dapat mengimbangi penurunan akibat penurunan populasi.

"Lalu, ada kesenjangan besar dalam penggunaan sumber daya. Jika Anda tinggal di Amerika Serikat atau Australia, jejak karbon Anda hampir dua kali lipat dari rekan Anda di China, penghasil emisi terbesar secara keseluruhan," tutur Mathew.

"Negara-negara yang lebih kaya mengonsumsi lebih banyak. Jadi, karena semakin banyak negara menjadi lebih kaya dan lebih sehat tetapi dengan lebih sedikit anak, kemungkinan lebih banyak populasi global akan menjadi penghasil emisi yang lebih tinggi. Kecuali, tentu saja, kita memisahkan pertumbuhan ekonomi dari lebih banyak emisi dan biaya lingkungan lainnya, seperti yang diupayakan banyak negara, tetapi sangat lambat," nilainya.

Mathew menilai saat orang bermigrasi ke negara maju, hal itu dapat menguntungkan secara ekonomi bagi mereka dan negara yang mengadopsinya. Secara lingkungan, belum tentu.

Malah ada potensi meningkatkan emisi per kapita dan dampak lingkungan. "Lalu ada pergolakan perubahan iklim yang mengancam. Saat dunia memanas, migrasi paksa - di mana orang harus meninggalkan rumah untuk menghindari kekeringan, perang, atau bencana lain yang dipengaruhi iklim, diproyeksikan akan melonjak hingga 216 juta orang dalam seperempat abad."

"Migrasi paksa dapat mengubah pola emisi, tergantung di mana orang menemukan tempat berlindung," lanjutnya.

Selain faktor-faktor ini, ada kemungkinan populasi global yang menurun dapat memangkas konsumsi secara keseluruhan dan mengurangi tekanan pada lingkungan alam.

Para pemerhati lingkungan yang khawatir tentang kelebihan populasi telah lama berharap populasi global akan menurun. Mereka mungkin akan segera mendapatkan keinginan mereka. Bukan melalui kebijakan pengendalian kelahiran yang dipaksakan, tetapi sebagian besar melalui pilihan wanita terpelajar dan kaya yang memilih keluarga lebih kecil.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Populasi Dunia Diprediksi Bakal Menyusut, Ilmuwan Bicara Efeknya ke Lingkungan"