Ilustrasi (Foto: Istock) |
Seorang pria bernama Evan Plotkin di Connecticut, AS, menggugat perusahaan Johnson & Johnson (J&J) setelah produk bedak taburnya diklaim memicu kanker. Pria tersebut menggugat sejak 2021 setelah ia didiagnosis mengidap kanker langka mesothelioma, kanker yang umumnya dikaitkan dengan paparan asbes, memengaruhi lapisan paru-paru dan organ lainnya.
Ia juga mengaku merasa sakit setiap menghirup bedak bayi yang diproduksi J&J. Plotkin mengaku terpapar produk J&J melalui penggunaan pribadi sejak tahun 1950-an dan penggunaan oleh anak-anaknya hingga tahun 2000-an.
Pengadilan Tinggi Fairfield County, Connecticut, memutuskan agar perusahaan J&J membayar sekitar 15 juta dollar USD atau sekitar Rp 233 Miliar kepada Plotkin untuk ganti rugi.
"Evan Plotkin dan tim persidangannya sangat gembira karena juri sekali lagi memutuskan untuk meminta pertanggungjawaban Johnson & Johnson atas pemasaran dan penjualan produk bedak bayi yang mereka ketahui mengandung asbes," kata Ben Braly, pengacara Plotkin, dalam email, dikutip Reuters.
Braly menekankan bahwa kasus tersebut menyoroti kekhawatiran serius tentang keselamatan konsumen dan tanggung jawab perusahaan.
Selain ganti rugi kompensasi sebesar 15 juta dolar, juri juga merekomendasikan agar perusahaan dikenakan ganti rugi punitif. Ganti rugi punitif ini, yang ditujukan untuk menghukum Johnson & Johnson atas tindakannya, akan ditentukan kemudian oleh pengadilan.
Tanggapan Johnson & Johnson
Johnson & Johnson telah menolak klaim tersebut dan mengisyaratkan niatnya untuk mengajukan banding atas keputusan tersebut. Erik Haas, wakil presiden litigasi perusahaan di seluruh dunia, mengkritik penanganan kasus tersebut oleh pengadilan, dengan mengklaim bahwa juri tidak diberikan bukti penting.
"Putusan tersebut tidak sesuai dengan penelitian ilmiah selama puluhan tahun yang menunjukkan bahwa produk bedak kami aman dan tidak mengandung asbes," kata Haas dalam sebuah pernyataan, dengan menegaskan bahwa produk perusahaan tersebut telah menjalani evaluasi keamanan yang ekstensif.
Perusahaan tersebut telah lama membantah adanya hubungan antara bedak taleknya dengan kontaminasi asbes, dan mengutip studi independen yang menurut J&J, menegaskan keamanan produk tersebut.
Lebih lanjut, putusan ini muncul di tengah pertikaian hukum yang jauh lebih besar yang dihadapi Johnson & Johnson. Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak pertikaian hukum yang dihadapi perusahaan farmasi raksasa tersebut.
Dikutip dari Republic World, Johnson & Johnson saat ini tengah berupaya menyelesaikan klaim dari lebih dari 62.000 orang yang menuduh bahwa produk berbasis bedaknya menyebabkan kanker ovarium dan kanker ginekologi lainnya.
Perusahaan tersebut telah mengusulkan penyelesaian hampir $9 miliar atau Rp 139 triliun melalui kebangkrutan untuk menyelesaikan kasus-kasus ini. Akan tetapi, kesepakatan tersebut telah menghadapi tantangan hukum dari beberapa pengacara penggugat dan saat ini sedang digugat.
Meskipun penyelesaian kebangkrutan akan menunda gugatan kanker ginekologi, penyelesaian tersebut tidak mencakup kasus mesothelioma seperti yang dialami Plotkin. Johnson & Johnson sebelumnya telah menyelesaikan beberapa klaim mesothelioma tetapi belum mengusulkan penyelesaian nasional untuk kelompok kasus ini.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Awal Mula J&J Digugat Rp 233 Miliar Buntut Kasus Kanker gegara Bedak Tabur"