29 September 2025

Ini Kata Pakar Terkait Tingginya Kasus Keracunan Makan Bergizi Gratis

Program pemerintah Makan Begizi Gratis (MBG) di Bandung. (Foto: Wisma Putra/detikJabar)

Makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan program prioritas pemerintah menjadi sorotan pasca banyaknya kasus keracunan makanan pada anak. Hingga September 2025, sudah tercatat lebih dari 6 ribu kasus.

Hal ini menjadi perhatian para pakar, salah satunya epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya risiko keracunan dapat ditekan dengan penerapan standar sederhana, seperti kontrol suhu, cuci tangan, dan pengawasan yang konsisten.

"Keracunan pangan di sekolah bukan takdir. Ini sinyal sistem yang belum bekerja," tutur Dicky pada detikcom, Jumat (26/9/2025).

"Dengan standar sederhana dan konsisten, kita bisa menekan risiko ini secara signifikan," sambungnya.

Ia menekankan lini pencegahan pertama terkait keracunan ini adalah dapur sekolah, sebelum memperkuat rantai pasok dan sistem pengawasan. Menurutnya, cakupan sertifikasi dan implementasi dari Standard Operating Procedure (SOP) atau Prosedur Operasional Standar atau Petunjuk Operasional Standar masih rendah dan dapat menjadi potensi bahaya.

"Keracunan pangan di sekolah itu dapat dicegah dengan standard hygiene sanitasi dasarnya," tambahnya.

Makanan yang Rentan Terkontaminasi Bakteri

Menurut Dicky, pola kerentanan itu terjadi saat makanan berisiko tinggi, seperti nasi yang merupakan karbohidrat berpati. Itu bisa tercemar bakteri Bacillus cereus.

Selain itu, lauk berprotein bisa tercemar bakteri Staphylococcus aureus dan sayur dengan air yang tidak memenuhi standar, bisa tercemar bakteri E.Coli atau Shigella. Bahkan, jajanan kemasan curah itu juga berisiko ada kandungan kimia.

Dicky menekankan hal-hal tersebut harus dipahami risikonya. Selain itu, titik kendali kritis yang sering gagal adalah ketika air dan es itu tidak aman.

"Jadi adanya cross contamination ya, seperti di pisaunya, talenannya, pendinginan yang lambat, atau pemanasan ulang itu tidak mencapai 74 derajat Celsius. Kemudian, ada juga adanya jeda suhu bahaya antara 5 sampai 60 derajat Celsius di atas 4 jam," jelas Dicky.

"Higienitas penjamah yang buruk, artinya dia tidak sering cuci tangan, tidak pakai sarung tangan, tidak pakai masker, kukunya juga kotor, atau tidak juga pakai penutup rambut. Ini yang sering gagal dan tidak konsisten," lanjutnya.

Imbauan untuk Orang Tua dan Guru

Maka dari itu, Dicky mengimbau para orang tua dan guru juga ikut memperhatikan kebersihan tangan, meja, dan peralatan makan.

"Jangan konsumsi makanan yang sudah lebih dari empat jam di suhu ruang. Jika tampilan, warna, atau bau makanan tidak wajar, segera buang dan jangan ragu untuk melaporkan jika muncul gejala keracunan," tegasnya.

Secara epidemiologi pangan, Dicky menyebut pola keracunan berulang dan lintas daerah paling sering berkaitan dengan kombinasi sejumlah faktor, seperti:

Kontrol waktu dan suhu buruk, termasuk pelanggaran aturan praktis 2 jam atau 4 jam, tidak tersedia pendinginan cepat, pemanas, dan suhu tidak tercatat.

Distribusi dan logistik yang tidak sesuai, seperti pengiriman jauh tanpa cold box atau data logger, serta kemasan tidak kedap.

Higienitas dan sanitasi dapur rendah, termasuk risiko kontaminasi silang, air tidak higienis, dan keberadaan hama.

Bahan baku berisiko tanpa pengawasan ketat, serta pergantian pemasok yang didorong harga murah, bukanlah performa keamanan.

Menu tidak sesuai standar keamanan, misalnya makanan berbahan santan yang dibiarkan di suhu ruang terlalu lama atau menu berulang yang memicu insiden.

Maka dari itu, Dicky mendorong pemerintah dan penyedia jasa katering sekolah untuk memperkuat kontrak pengadaan dengan standar waktu hingga suhu yang ketat, sertifikasi bahan baku, hingga mekanisme recall dan sanksi jika terjadi pelanggaran.

"Kalau sistemnya berjalan, anak bisa belajar dengan tenang dan cemerlang," pungkasnya.

























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Ribuan Anak Keracunan Makan Bergizi Gratis, Pakar Beri Catatan Ini"