Hagia Sophia

05 June 2024

Generasi Muda Singapura Dianggap Kurang Bahagia, Kasus Depresi Naik Tiap Tahun

Ilustrasi gen Z di Singapura. (Foto: AP Photo)

Laporan World Happiness 2024 menunjukkan secara global generasi muda saat ini kurang bahagia dibandingkan masa lampau orangtua mereka. Ini juga terjadi di Singapura. Menurut data tersebut, mereka dengan usia 60 tahun ke atas rupanya lebih bahagia dibandingkan kelompok berusia di bawah 30 tahun.

Menurut survei yang dilakukan Duke-NUS Medical School dan Institute of Mental Health (IMH) pada 2022, 12 persen individu muda menunjukkan gejala mirip dengan depresi, sementara sekitar 13 persen menunjukkan gejala kecemasan. Secara keseluruhan, 16,2 persen remaja melaporkan mengeluhkan gejala yang sesuai dengan setidaknya salah satu dari kondisi berikut.

Sementara bila mengacu survei Kesehatan Penduduk Nasional pada 2022, orang dewasa berusia antara 18 hingga 29 tahun memiliki persentase kesehatan mental buruk tertinggi, dengan 25,3 persen melaporkan masalah tersebut.

Sejalan dengan penelitian-penelitian ini, proporsi tahunan anak-anak atau remaja yang diberi resep antidepresan meningkat dari 3,4 persen menjadi 4,1 persen selama lima tahun antara 2017 dan 2021. Demikian pula, resep pada orang dewasa muda meningkat dari 11,2 persen menjadi 15,5 persen selama periode tersebut.

Meningkatnya tantangan kesehatan mental yang dihadapi kaum muda telah mencapai titik kritis. Pada Februari, Wong membahas masalah ini dalam mosi parlemen yang bertujuan untuk memajukan inisiatif kesehatan mental. Dia menekankan perlunya lebih banyak penelitian dan perubahan mendasar dalam persepsi kita tentang kesuksesan, dengan menggarisbawahi gawatnya situasi ini.

'Biang Kerok' Gen Z Tak Bahagia

Tiga pemicu generasi muda di Singapura kurang bahagia yakni berkaitan dengan media sosial, serta lingkungan akademis dan kerja.

Generasi muda saat ini menghadapi dunia yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, kehadiran media sosial, berbagai pemicu stres yang unik pun muncul. Alat-alat ini, meskipun dirancang untuk menghubungkan dunia, sering kali menumbuhkan rasa keterasingan dan ketidakmampuan.

Misalnya, media sosial dapat memutarbalikkan kenyataan, memberikan tolok ukur yang tidak realistis bagi kesuksesan dan kebahagiaan pribadi. Paparan terus-menerus terhadap gambaran kehidupan orang lain yang dikurasi dapat menyebabkan perasaan tidak mampu, cemas, dan depresi.

Banyak anak muda mengeluh bahwa alih-alih membentuk persahabatan dalam dinas nasional penuh waktu atau bersosialisasi di kampus, sebagian besar interaksi kini dilakukan dalam obrolan grup daring. Mereka kesulitan menemukan waktu atau peluang untuk bertemu orang baru dan kesulitan mencari hubungan romantis yang bermakna dari aplikasi kencan.

Di Singapura, sistem pendidikan masih bertumpu pada keberhasilan akademis. Hal ini dapat menguras tenaga secara psikologis dan emosional, karena generasi muda sering kali merasa berada dalam perlombaan tanpa henti untuk mencapai keunggulan akademis, sebuah perlombaan dengan imbalan yang sulit didapat dan tidak berwujud. Bahkan bagi mereka yang memiliki prestasi akademik tinggi, janji akan masa depan yang memuaskan dan terjamin masih dipertanyakan mengingat biaya hidup yang terus meningkat.

Kenyataan yang menakutkan bahwa meskipun mereka telah berupaya sebaik-baiknya, mereka tidak mungkin melampaui kesuksesan orang tua mereka, dalam masyarakat yang telah mencapai tingkatan luar biasa, menambah kompleksitas yang ada. Lingkungan ini dapat menyebabkan kelelahan dan mempertanyakan tujuan upaya mereka, sehingga mengurangi nilai kerja keras dan pencapaian mereka.

"Bagi remaja yang merasa sedih dan mengeluh tidak ada artinya, melakukan refleksi diri untuk memahami keinginan dan nilai-nilai mereka yang sebenarnya dapat menjadi titik awal. Menemukan makna bisa menjadi sebuah perjalanan pribadi untuk berhubungan dengan orang lain secara otentik, memilih jalan yang sesuai dengan batin mereka, dan merangkul kebebasan untuk menentukan nasib mereka meskipun terdapat ketidakpastian dalam hidup," saran Dr Lim Boon Leng, psikiater di Gleneagles Medical Centre.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Pemicu Gen Z di Singapura Kurang Bahagia, Kasus Depresi Naik Terus Tiap Tahun"