![]() |
Foto: iStock |
Seorang putri dari ahli teori konspirasi dan antivax Kate Shemirani dituding menjadi penyebab kematian anaknya yang meninggal di tahun 2024 setelah menolak kemoterapi kanker.
Gabriel dan Sebastian Shemirani, anak-anak dari Kate Shemirani, mantan perawat yang kini dikenal sebagai aktivis anti-vaksin, berbagi cerita tentang kematian saudarinya, Paloma, dalam sebuah wawancara dengan program berita BBC Panorama. Menurut mereka, Paloma didiagnosis limfoma non-Hodgkin pada akhir tahun 2023.
Dengan kemoterapi, dokter memprediksi peluangnya untuk sembuh mencapai 80 persen. Namun, Paloma memilih untuk tidak menjalani pengobatan medis tersebut.
Keputusan ini diambil setelah Kate Shemirani menjenguk putrinya di rumah sakit. Paloma memilih untuk mencoba pengobatan alternatif yang disebut Gerson therapy, yaitu diet jus, suplemen, dan enema. Padahal, menurut National Cancer Institute, terapi ini tidak pernah terbukti efektif sebagai pengobatan kanker.
Pada Juli 2024, Paloma mengalami serangan jantung dan harus menggunakan alat bantu hidup. Beberapa hari kemudian, Paloma meninggal dunia di usia 23 tahun.
Setelah kematian putrinya, Kate Shemirani mengklaim di media sosial bahwa Paloma telah dibunuh dan kematiannya disembunyikan. Dalam unggahannya di X (sebelumnya Twitter), ia menulis, "Kedokteran adalah kebohongan dan apa yang pernah kita yakini sebagai layanan kesehatan sekarang adalah layanan pembunuhan." Ia menyebut kematian putrinya sebagai "kasus pembunuhan besar-besaran."
Melihat hal ini, Sebastian dengan tegas menyalahkan ibunya atas kematian saudara perempuannya. "Saudara perempuan saya meninggal sebagai konsekuensi langsung dari tindakan dan keyakinan ibu saya," katanya kepada BBC.
"Saya tidak ingin ada orang lain yang mengalami rasa sakit atau kehilangan yang sama seperti saya."
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kematian Gadis 23 Tahun yang Menolak Kemoterapi Gara-gara Ibu Percaya Konspirasi"