Istilah El Niño dan La Niña digunakan untuk menggambarkan pola iklim berdasarkan suhu air Samudra Pasifik. Namun saat ini ada fenomena serupa di Atlantik. Foto: NOAA |
Selama lebih dari setengah abad, istilah El Niño dan La Niña telah digunakan untuk menggambarkan pola iklim berdasarkan suhu air Samudra Pasifik. Namun saat ini, semakin banyak perhatian diberikan pada fenomena serupa yang terjadi di Samudra Atlantik bagian timur.
Dalam beberapa dekade terakhir, para ahli iklim mulai menggunakan istilah seperti 'Atlantic Niño' dan 'Atlantic Niña' untuk menggambarkan suhu air yang lebih dingin atau lebih hangat di lepas pantai Afrika bagian barat.
Seperti dikutip dari Fox Weather, mirip dengan di perairan Pasifik, wilayah ini terletak di sepanjang garis khatulistiwa dan berbatasan di ujung timurnya dengan daratan yang signifikan. Tetapi di situlah sebagian besar kesamaannya berakhir.
Pola iklim di sepanjang garis pantai barat benua Afrika tidak diragukan lagi dipengaruhi oleh variasi suhu air. Namun, bagaimana lautan memengaruhi cekungan Atlantik yang lebih luas, termasuk Amerika Selatan dan bahkan AS masih relatif tidak diketahui.
Yang terbaru, pendinginan signifikan di Atlantik timur selama musim panas tahun 2024 telah memberi para ilmuwan kesempatan untuk menganalisis dan menentukan apakah Niña Atlantik terbentuk dan apa implikasinya.
Data satelit NOAA menunjukkan bahwa perairan di selatan Liberia, di sepanjang garis khatulistiwa, mencapai satu derajat Celsius di bawah normal selama Juni hingga Juli, menciptakan gumpalan biru di lautan yang tadinya berair merah dan lebih hangat.
Peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) masih menunggu data bulan-bulan berikutnya untuk menentukan peristiwa itu terbentuk atau mereda, apa saja pengaruh potensial yang dapat terjadi pada suhu dan curah hujan musiman di wilayah tersebut, serta beberapa latar belakang tentang apa yang diketahui dan tidak ketahui tentang mengapa peristiwa ini terjadi dan apakah perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia diperkirakan akan memengaruhi pola tersebut.
Karena data ilmiah untuk episode ini lebih sedikit, kriteria kejadiannya pun tidak seketat pola El Niño, La Niña, atau La Nada di Pasifik.
Secara umum, peristiwa yang berlangsung selama tiga bulan atau lebih dengan anomali suhu air di atas +0,5 derajat Celsius dianggap sebagai Niño Atlantik, sedangkan suhu yang lebih dingin dari -0,5 derajat Celsius mengakibatkan Niña Atlantik.
Terjadinya Niña Atlantik dan Niño Atlantik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan badai Pasifik, masing-masing hanya terjadi sekitar setengah lusin kali sejak awal tahun 1980-an.
Kondisi serupa pada suhu di bawah atau di atas air juga jarang terjadi, terjadi secara bersamaan di Atlantik dan Pasifik.
Misalnya, jika La Niña terjadi di Pasifik, akan jarang terjadi La Niña Atlantik berkembang pada waktu yang sama. Skenario yang paling umum adalah Atlantik mengalami kondisi ekstrem, baik Niño Atlantik atau Niña selama periode tahap netral Osilasi Selatan El Niño di Pasifik.
Foto: NOAA |
Pola Iklim Nina Atlantik
Beberapa ahli cuaca menyebutkan munculnya Niña Atlantik sebagai salah satu pendorong utama musim badai yang relatif tidak aktif, jika dibandingkan dengan prospek musiman.
Dampak Niña Atlantik terhadap aktivitas badai belum cukup dipahami sehingga lembaga-lembaga pemerintah tidak dapat mengukur seberapa besar dampaknya pada musim tersebut.
"Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa dampak Badai Niño dan Niña Atlantik dapat menjangkau jauh melampaui Atlantik khatulistiwa, yang berpotensi memengaruhi perkembangan badai di dekat pantai Afrika Barat dan bahkan mungkin El Niño dan La Niña di Pasifik," kata para peneliti NOAA.
Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan hipotesis dampak global yang baru. Jadi, masih perlu menunggu sains berkembang hingga hipotesis tersebut matang menjadi pengetahuan baru.
Artikel ini telah tayang di inet.detik.com dengan judul "Ilmuwan Kini Punya Istilah El Nino dan La Nina Atlantik"