![]() |
Keracunan MBG di Bandung (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan) |
Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN) menyimpulkan senyawa nitrit menjadi pemicu gejala keracunan yang dialami 1.315 siswa di Bandung Barat. Gejala tersebut terjadi setelah para siswa menyantap hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disiapkan 3 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berbeda.
"Kami berkesimpulan, senyawa Nitrit menjadi penyebabnya," kata keterangan Ketua Tim Investigasi Independen BGN Dra Karimah Muhammad Apt, yang diterima detikcom, Jumat (3/10/2025).
Karimah menginvestigasi kasus ini dengan bertemu para korban, menemui para dokter yang menangani korban di Puskesmas Cipongkor dan RSUD Cililin, serta mempelajari pola gejala utama korban, mengecek obat-obatan yang diberikan di Puskesmas dan RSUD kepada para korban.
Selain itu, ia juga mempelajari hasil uji mikrobiologi dan toksikologi dari Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Jabar, yang menguji sampel dari SPPG maupun dari sisa makanan di sekolah.
"Ditemukan kadar nitrit yang sangat tinggi di buah melon dan lotek dari sampel sisa sekolah," ujar Ahli Farmasi Klinis itu.
Menurut Karimah, pada masing-masing jenis sampel yang diuji, terdapat 3,91 dan 3,54 mg/L nitrit. Padahal, jika merujuk EPA (US Environmental Protection Agency), kadar maksimum nitrit yang boleh dikonsumsi dalam minuman adalah 1 mg/L. Sementara Otoritas Kesehatan di Kanada menetapkan 3 mg/L.
"Jadi kalau merujuk standar EPA, maka kadar nitrit dalam sampel sisa makanan di sekolah hampir 4 kali lipat dari batas maksimum," ujarnya.
Secara alamiah, lanjut Karimah, sebagian buah-buahan dan sayur-sayuran memang mengandung nitrit. Kadarnya bisa meningkat karena hasil kerja bakteri, yang bisa mengubah nitrat menjadi nitrit, atau sebaliknya.
"Pola gejala yang ditunjukkan para korban sejalan dengan gejala keracunan nitrit, di mana yang mendominasi adalah efek di saluran pencernaan bagian atas, misal: mual, muntah atau nyeri lambung, sebanyak 36 persen. Bukan di saluran pencernaan bagian bawah, misal diare," ujarnya.
Persentase korban yang mengalami diare ternyata hanya 3 persen. Padahal, biasanya diare menjadi salah satu gejala dominan pada kasus keracunan makanan, bukan alergi makanan. Kondisi ini sempat membuat sejumlah dokter menyampaikan keheranan kepada tim investigasi. Namun, menurut Karimah, keracunan nitrit memang tidak menimbulkan diare. Sebab, sebagai zat toksik, nitrit terlebih dahulu harus didetoksifikasi di hati.
Adapun gejala pusing atau kepala terasa ringan, muncul karena terjadi pelebaran pembuluh darah, yang juga merupakan ciri keracunan nitrat.
Gejala ini menunjukkan persentase cukup besar, sebanyak 29 persen, dan berada di peringkat kedua setelah gejala di saluran pencernaan bagian atas.
"Gejala lemas dan sesak nafas yang dikeluhkan sebagian korban juga menunjukkan keracunan nitrit. Sebab, nitrit bisa menyebabkan methemoglobinemia, di mana kemampuan hemoglobin di dalam darah untuk membawa oksigen menjadi berkurang, sehingga sel-sel tubuh merasa lemas, dan di paru-paru terasa sesak," ujar Karimah.
Tim Investigasi Independen BGN yang dipimpin Karimah justru tidak menemukan bakteri jahat penyebab keracunan makanan, seperti Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Bacillus cereus. Selain itu, tim investigasi juga tidak menemukan racun sianida, arsen, logam berat atau pestisida, kecuali nitrit dalam uji toksikologi.
Nitrit atau zat lain dalam buah dan sayuran tidak selalu tersebar merata di seluruh bagian makanan. Contohnya, saat makan jeruk, ada bagian yang terasa manis, sementara bagian lain bisa asam atau kecut karena kadar gula atau fruktosa dalam buah tidak merata.
Hal serupa juga terjadi pada zat lain, sehingga dampaknya bisa berbeda-beda pada setiap individu, tergantung kondisi kesehatan masing-masing anak.
"Mereka yang memiliki sistem pertahanan tubuh yang kuat atau detoksifikasi yang prima bisa dengan cepat atau lebih mudah mengeluarkan nitrit dari dalam tubuh, setelah mengalami metabolisme," ujar Karimah.
Sementara itu, jumlah korban yang tercatat mencapai 1.315 orang karena data yang dihimpun Puskesmas maupun RSUD, dan diberitakan media, adalah semua siswa yang datang ke Puskesmas.
Hal ini dipicu adanya imbauan melalui voice note yang mengajak siswa penyantap MBG untuk memeriksakan diri ke Puskesmas atau RSUD dengan layanan antar-jemput ambulans gratis. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan para orang tua, yang mendorong anak-anak mereka untuk datang dan diperiksa.
Fakta ini terlihat dari data pasien rawat inap korban keracunan MBG yang hanya sekitar 7 persen. Sementara 93 persen lainnya langsung diizinkan pulang. Artinya, setelah siswa diperiksa tekanan darah dan kadar SpO2, ditanya keluhan, diobservasi oleh tenaga kesehatan, serta diberi obat minum, mereka diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.
Adapun obat yang diberikan, seperti parasetamol, obat muntah ondansetron, dan/atau obat nyeri lambung omeprazole, dan tidak ada obat diare. Sementara pada korban yang dirawat inap atau dirujuk oleh Puskesmas ke RSUD, sebagian mendapat infus pengganti cairan tubuh ringer laktat atau penambah tenaga dekstrosa, suntikan ondansetron atau omeprazole.
Karimah menjelaskan dari temuan tim, tidak ada satupun korban yang mengalami kejang. Menurut para dokter di puskesmas dan RSUD bahwa yang dilihat orang awam sebagai kejang, adalah kram di jari-jari tangan, karena merasakan nyeri tak tertahankan akibat nyeri lambung.
"Hal itu dibuktikan dengan tidak ada satu pun obat antikejang yang dikeluarkan Puskesmas dan RSUD, misal: diazepam, carbamazepin, gabapentin atau pregabalin," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "BGN Ungkap Penyebab Keracunan MBG di Bandung Barat, Ternyata Dipicu Senyawa Nitrit"