![]() |
| Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/torwai |
Dalam momentum Hari Ayah Nasional, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyoroti fenomena meningkatnya anak-anak yang tumbuh tanpa figur ayah atau fatherless. Meski kerap tidak disadari, kondisi ini dinilai dapat berdampak serius pada kesehatan mental hingga perilaku sosial.
Direktur Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kemenkes RI, dr Imran Pambudi, MPHM, menegaskan kehadiran ayah tidak hanya berarti fisik, tetapi juga emosional. Ia mengingatkan komunikasi antara ayah dan anak harus dijaga setiap hari, sekecil apapun bentuknya.
"Ayah itu figurnya harus terus ada. Kalau bisa setiap hari ada komunikasi dengan anak, sekecil apapun. Jangan ditumpuk di akhir pekan, karena anak juga punya aktivitas sendiri," ujar Imran.
Menurutnya, interaksi sederhana seperti berbicara saat makan malam atau sebelum tidur sudah cukup menjaga kelekatan emosional antara ayah dan anak. Figur ayah yang konsisten hadir, kata dia, akan membantu anak tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan memiliki arah dalam peran gendernya.
Imran menjelaskan kehilangan figur ayah berpotensi menimbulkan kebingungan identitas dan tekanan psikologis, terutama bagi anak perempuan yang hanya dibesarkan oleh ibu. Tanpa teladan laki-laki di rumah, anak sering kali merasa harus memikul semua tanggung jawab sendiri.
"Kalau anak perempuan dibesarkan hanya oleh ibu, dia bisa merasa semua harus dikerjakan sendiri. Saat dewasa dan menikah, dia akan kesulitan melakukan penyesuaian, karena tidak pernah melihat sosok ayah sebelumnya," jelasnya.
Bagi anak laki-laki, ketiadaan ayah juga bisa menimbulkan jarak emosional dan konflik ketika memasuki masa remaja. Bahkan, tidak sedikit remaja yang menolak kehadiran kembali ayahnya setelah 'lama absen'.
"Kadang bapak baru muncul saat anak remaja, tapi anaknya justru marah, 'selama ini Bapak di mana?' Itu karena figur ayah tidak hadir sejak dini. Idealnya, keterlibatan ayah harus ada sejak bayi," tambah Imran.
Imran menyebut kehilangan figur ayah dapat berdampak pada perilaku berisiko. Anak yang tidak mendapatkan sosok pelindung dan panutan di rumah cenderung mencari pengganti di luar lingkungan keluarga, yang tidak selalu positif.
"Mereka bisa mencari figur ayah di lingkungan luar. Kalau lingkungannya salah, ini bisa bahaya. Anak laki-laki bisa mudah terpapar rokok, narkoba, atau perilaku menyimpang," jelasnya.
"Rokok itu sering jadi pintu masuk. Tubuh sebenarnya menolak lewat batuk, tapi kalau diteruskan, zat berbahaya lain pun mudah masuk," imbuhnya.
Meski dampak langsung terhadap penyakit fisik belum banyak dibuktikan secara kuantitatif, ia menilai efek psikologis dari fatherless jelas terlihat dalam bentuk stres, rendahnya kontrol emosi, serta kecenderungan mencari pengakuan dari luar.
Menjawab kondisi ini, Kemenkes RI mendorong keterlibatan ayah dalam program parenting dan edukasi keluarga. Salah satunya melalui program pengasuhan positif, yang membahas enam topik utama, termasuk pembagian peran orang tua dan pentingnya komunikasi dalam keluarga.
Selain itu, Kemenkes juga memiliki program kelas ibu hamil, yang mewajibkan keterlibatan suami pada salah satu sesi. Tujuannya agar para ayah memahami kebutuhan ibu selama kehamilan, proses persalinan, hingga perawatan anak setelah lahir.
"Di kelas ibu, minimal satu sesi suami wajib ikut. Supaya mereka tahu bagaimana mendukung ibu selama kehamilan dan setelah melahirkan. Buku KIA sebenarnya sudah memuat banyak informasi soal itu," kata Imran.
Ia menegaskan, keterlibatan ayah seharusnya tidak berhenti pada masa bayi, melainkan berlanjut di setiap tahap perkembangan anak. "Harus di semua usia. Setiap tahap tumbuh kembang anak punya kebutuhan figur ayah sendiri. Jadi kehadiran ayah tidak boleh putus," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kehilangan Figur Ayah Bisa Ganggu Kesehatan Mental Anak, Ini Wanti-wanti Kemenkes"
