Hagia Sophia

24 October 2024

Berbagai Catatan Pakar Tentang Program Makan Gratis Prabowo-Gibran

Potret pemberian makan gratis di program kabinet merah putih Prabowo-Gibran. (Foto: Arina Zulfa Ul Haq)

Makan bergizi gratis menjadi salah satu program prioritas dan unggulan kabinet merah putih Prabowo-Gibran. Dinanti banyak orang, sasaran pemberian program tersebut bakal diprioritaskan untuk kelompok anak mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas (SMA).

Sebelum resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, program makan bergizi gratis Prabowo-Gibran bahkan sudah kerap diuji coba pada berbagai daerah dengan menu beragam. Meski disambut positif banyak pihak, program ini juga tak lepas dari kritik dan catatan para pakar.

Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) misalnya. Organisasi nonprofit di sektor kesehatan tersebut, memberikan sejumlah catatan di balik prioritas program makan bergizi gratis. Pertama, ketimpangan regulasi dengan berdirinya badan gizi nasional.

CEO Cisdi Diah Satyani Saminarsih mengingatkan Kementerian Kesehatan RI sendiri sudah memiliki direktorat gizi yang selama ini memberikan regulasi, aturan, serta standar pelaksanaan kebijakan berkaitan dengan gizi. Ia mempertanyakan bagaimana pelaksanaan makan gratis kemudian berjalan bersamaan dengan tugas-tugas gizi secara nasional di lingkup kementerian.

"Yang harus dijelaskan lagi bagaimana pembagian tugas badan gizi nasional dengan direktorat kementerian gizi Kemenkes RI, karena ada beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan. Apakah badan gizi ini hanya semata untuk distribusi, mengemas, mendistribusi? Lalu secara aturan teknisnya tetap dikerjakan Kemenkes RI direktorat gizi?" tanya Diah dalam webinar daring Selasa (22/10/2024).

Tumpang tindih regulasi tentu bisa berdampak pada berjalannya program terkait. Hal ini malah akan memicu kebingungan di lingkup daerah, terkait teknis atau pelaksanaan pemberian makan bergizi gratis, termasuk menu makanan yang disiapkan.

Pertanyakan Standar Makanan

Sejauh ini, belum ada kejelasan standar makanan yang akan diberikan dalam program makanan bergizi gratis. Mengingat, Kemenkes RI juga memiliki slogan 'Isi Piringku' sebelumnya, terkait gizi yang sesuai dalam sepiring makanan.

Diah juga menilai penting untuk pemerintah memastikan makanan dan minuman yang diberikan tidak bertolak belakang dengan standar gizi batas aman garam, gula, lemak (GGL) per hari. Hal ini sejalan dengan desakan CISDI terkait pengaturan gula dan pengenaan cukai dalam minuman berpemanis dalam kemasan.

"Nanti apabila diberikan susu, apakah kadar gulanya sesuai dengan standar kesehatan atau tidak?"

"Penetapan standar teknisnya seperti apa, gizi makanannya akan kayak apa? Apakah akan tetap berpedoman pada Isi Piringku?"

Risiko Penularan Penyakit di Makanan

Hal yang sama juga diutarakan pakar epidemiologi Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia. Pemberian makan gratis jangan sampai mengabaikan aspek penting risiko penyakit yang mungkin saja ditularkan melalui makanan. Demi menghindari kemungkinan tersebut, Dicky menilai perlu ada pelatihan khusus untuk penyedia makanan dan tenaga dapur dalam memperhatikan praktik sanitasi serta kebersihan pangan.

Hal ini juga perlu secara rutin diawasi atau inspeksi berkala. Bukan hanya dari segi risiko penyakit, porsi makanan pada kebutuhan anak perlu disesuaikan berdasarkan jenjang usia masing-masing.

"Porsi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan energi dan nutrisi anak pada berbagai jenjang usia (TK, SD, SMP) dapat menyebabkan kurangnya asupan gizi atau bahkan gizi berlebih pada beberapa anak. Porsi makanan harus disesuaikan dengan usia dan aktivitas anak. Ahli gizi dapat membantu menyusun takaran yang tepat untuk setiap kelompok umur," saran Dicky.

Pentingnya Edukasi Gizi untuk Anak dan Orangtua

Program makan bergizi gratis yang disebut-sebut bisa menjadi kunci kesuksesan penanganan kasus stunting, dinilai Dicky relatif percuma bila tidak dibarengi dengan edukasi masif.

"Jika anak dan orang tua tidak memahami pentingnya makanan bergizi, anak mungkin enggan makan makanan sehat yang disediakan atau orang tua tidak mendukung kebiasaan makan sehat di rumah. Program ini harus diiringi dengan edukasi gizi baik di sekolah maupun di rumah, melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan. Misalnya, kampanye atau pelatihan gizi untuk orang tua dapat membantu memastikan keberlanjutan asupan makanan bergizi di luar sekolah," sebutnya.

Ada kekhawatiran distribusi makanan gratis tidak akan berjalan maksimal. CISDI menilai hal ini perlu diantisipasi dengan pemantauan produksi pangan lokal kaya gizi untuk masyarakat sekitar, utamanya di daerah terpencil.

"Di tingkat daerah kami juga menyadari adanya kearifan pangan lokal, dan nilai gizinya bahkan lebih tinggi dengan makanan-makanan lain. Meski ini tetap perlu riset, evidence based. Sudah banyak sebetulnya dari IPB dan banyak universitas atau kampus lain yang berhubungan dengan gizi dan masyarakat.

"Kami mendorong riset tersebut dikumpulkan, kami ingin ada pasokan makanan daerah yang bisa menopang ini. Karena tidak mungkin rasanya itu dikumpulkan secara sentral, karena ada waktu yang dibutuhkan dari sentral ke lokasi setiap harinya," pungkas dia.

Kesulitan dalam distribusi makanan juga disorot Dicky. Keterlambatan distribusi makanan jelas akan berdampak pada kualitas pangan yang dikonsumsi nantinya.

"Terutama di daerah terpencil atau wilayah dengan infrastruktur yang kurang memadai, bisa menyebabkan keterlambatan atau penurunan kualitas makanan (misalnya makanan menjadi basi atau rusak)."

"Solusinya, sistem distribusi yang efektif perlu direncanakan, termasuk kerjasama dengan produsen makanan lokal dan penggunaan fasilitas penyimpanan dan transportasi yang memadai untuk menjaga kualitas makanan," saran dia.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Catatan Pakar soal Program Makan Gratis Prabowo-Gibran, Sentil soal Ini"