Hagia Sophia

23 July 2025

Berbagai Fakta Epilepsi yang Sering Disalahartikan

Foto ilustrasi: Getty Images/gorodenkoff

Epilepsi atau ayan adalah gangguan saraf kronis yang ditandai dengan kejang berulang akibat aktivitas listrik abnormal di otak. Banyaknya stigma tentang penyakit ini membuat pasien kerap enggan memeriksakan diri ke dokter.

"Epilepsi bukan kutukan, bukan gangguan jiwa, dan banyak pasien bisa menjalani hidup normal dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat," ujar Kelompok Kerja Epilepsi dan EEG, Perdosni Pusat, dr Aris Catur Buntoro, SpN, Subsp.NNET (K), Jumat (18/72025).

dr Aris menjelaskan epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang menyebabkan aktivitas otak menjadi tidak normal, mengalami kejang, sensasi tidak biasa, atau kehilangan kesadaran. Penyakit ini bisa muncul dengan gejala yang tak selalu dramatis, seperti melamun mendadak, gerakan aneh yang berulang, atau kehilangan kesadaran sesaat.

Hanya saja minimnya pemahaman masyarakat membuat pasien epilepsi kerap dikucilkan, bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Banyak dari mereka yang merasa cemas menjalani aktivitas normal seperti naik kendaraan umum, bekerja, bahkan sekadar bersekolah, karena risiko kejang yang bisa datang tiba-tiba.

"Takut jatuh, cedera, atau menjadi perhatian orang sekitar membuat sebagian besar pasien menarik diri

dari lingkungan sosialnya. Tak sedikit pasien yang terganggu pekerjaannya karena stigma atau dianggap tidak mampu," ucap dia.

Diagnosis epilepsi membutuhkan ketelitian, dan ditunjang oleh mesin elektroensefalografi (EEG) sebagai alat pemeriksaan utama untuk mendiagnosa epilepsi secara akurat, untuk merekam aktivitas listrik otak. Melalui pola-pola ini, epilepsi dapat teridentifikasi.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan, bahwa, setidaknya lebih dari satu juta orang di Indonesia diperkirakan hidup dengan epilepsi.

Sebagian besar belum mendapatkan diagnosis yang tepat, bahkan banyak yang belum menyadari bahwa mereka mengalami gangguan pada sistem syaraf yang sebenarnya dapat ditangani secara medis.

"Akibatnya, banyak pasien epilepsi yang tidak tertangani secara optimal dan justru mengalami stigma atau mendapat pengobatan tradisional yang tidak tepat. Hal ini dikhawatirkan dapat memperburuk kualitas hidup mereka dan meningkatkan risiko komplikasi," kata Nadia.

Di sisi lain, menurut dokter Siti terdapat keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan neurologis, terutama di daerah-daerah terpencil. Fasilitas seperti elektroensefalografi (EEG) sebagai alat utama dalam mendiagnosis epilepsi masih sangat terbatas dan umumnya hanya tersedia di rumah sakit tipe A atau B, dan sebagian tipe C.

"Selain itu, jumlah dokter spesialis saraf (neurolog) juga masih minim dan penyebarannya tidak merata di seluruh wilayah Indonesia," tandas Nadia.

























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Bukan Penyakit Guna-guna, Begini Fakta Epilepsi yang Sering Disalahartikan"