![]() |
Ilustrasi Foto: Getty Images/iStockphoto/KittisakJirasittichai |
Pertanyaan seperti "Seberapa sering seseorang buang air besar?" mungkin terdengar sangat pribadi, namun jawabannya dapat memberikan wawasan penting tentang kondisi kesehatan secara keseluruhan.
Sebuah studi yang diterbitkan pada Juli 2024 di jurnal Cell Reports Medicine meneliti frekuensi buang air besar pada 1.425 responden, lalu membandingkannya dengan data demografis, genetik, dan kesehatan masing-masing individu.
Hasilnya menunjukkan, buang air besar terlalu sering maupun terlalu jarang dapat dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan. Sementara itu, peserta dengan status kesehatan terbaik cenderung buang air besar satu hingga dua kali sehari, frekuensi yang disebut sebagai Goldilocks zone, yakni tidak terlalu sering dan tidak terlalu jarang.
"Studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi semua sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi buang air besar yang tidak normal dapat menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis," kata ahli mikrobiologi Washington University, Sean Gibbons, penulis korespondensi laporan tersebut.
Temuan ini memberikan wawasan penting terkait strategi untuk mengelola frekuensi buang air besar, bahkan pada populasi yang secara umum sehat, guna mengoptimalkan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Adapun penelitian yang dipimpin oleh tim dari Institute for Systems Biology (ISB) ini meneliti kebiasaan buang air besar pada individu yang tergolong sehat, yakni mereka yang tidak memiliki riwayat gangguan ginjal atau saluran cerna, seperti penyakit ginjal, sindrom iritasi usus besar (IBS), atau penyakit Crohn.
Para peserta melaporkan sendiri frekuensi buang air besar mereka, dan hasilnya dikategorikan ke dalam empat kelompok:
- Sembelit, bagi mereka yang buang air besar satu hingga dua kali per minggu
- Normal-rendah, tiga hingga enam kali per minggu
- Normal-tinggi, satu hingga tiga kali per hari
- Diare, empat kali atau lebih per hari, dengan konsistensi tinja encer
Selain mencatat kebiasaan buang air besar, para peneliti juga menganalisis profil kimia darah, metabolit, genetika, serta komposisi mikrobiota usus dari sampel tinja peserta. Tujuannya adalah untuk menemukan korelasi antara frekuensi buang air besar dengan penanda kesehatan, serta faktor-faktor lain seperti usia dan jenis kelamin.
Hasilnya menunjukkan, individu yang melaporkan frekuensi buang air besar lebih jarang umumnya adalah perempuan, berusia lebih muda, dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih rendah. Namun, setelah disesuaikan dengan faktor-faktor tersebut, ditemukan bahwa kondisi seperti sembelit atau diare tetap berkaitan erat dengan berbagai masalah kesehatan yang mendasarinya.
Bakteri yang biasanya ditemukan di saluran cerna bagian atas lebih sering muncul dalam sampel tinja peserta dengan diare. Sementara itu, sampel darah mereka menunjukkan penanda biologis (biomarker) yang berkaitan dengan kerusakan hati.
Sampel tinja dari orang-orang yang buang air besar lebih jarang mengandung kadar bakteri yang lebih tinggi yang berkaitan dengan fermentasi protein, sebuah risiko kesehatan yang dikenal sebagai dampak dari sembelit.
"Jika tinja terlalu lama berada di dalam usus, mikroba akan menghabiskan seluruh serat makanan yang tersedia dan memfermentasinya menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat. Setelah itu, ekosistem mikroba akan beralih ke fermentasi protein, yang menghasilkan berbagai racun yang bisa masuk ke aliran darah," jelas Johannes Johnson-Martinez, seorang bioinsinyur di Institute for Systems Biology (ISB).
Meski demikian, ada harapan bahwa perubahan kebiasaan dapat berdampak positif pada kesehatan. Mereka yang berada di 'zona Goldilocks', yaitu frekuensi buang air besar satu hingga dua kali sehari, dilaporkan mengonsumsi lebih banyak serat, minum air dalam jumlah cukup, dan rutin berolahraga. Sampel tinja mereka juga menunjukkan kadar tinggi bakteri yang berkaitan dengan fermentasi serat.
Tentu saja, setiap orang mungkin pernah berada di salah satu ekstrem pada titik tertentu dalam hidupnya, misalnya saat mengalami infeksi saluran pencernaan atau mengonsumsi terlalu banyak keju. Namun, studi ini lebih menyoroti kebiasaan sehari-hari, dan bagaimana versi 'normal' yang dimiliki setiap individu bisa menjadi petunjuk adanya masalah kesehatan yang tidak disadari.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Jadwal BAB Seperti Ini Bisa Jadi 'Sinyal' Kondisi Kesehatan, Waspadai Tandanya"