Ilustrasi bullying. (Foto: Thinkstock) |
Psikolog anak dan remaja dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi menyoroti anggapan 'hanya bercandaan anak' yang kerap muncul di balik kasus bullying. Pernyataan semacam ini sayangnya tidak hanya kerap dilontarkan dari orangtua pelaku korban, tetapi kelompok dewasa lain bahkan di institusi pendidikan seperti guru.
Banyak yang kemudian menganggap remeh suatu tindakan bullying. Menurut Ika, sebetulnya ada perbedaan signifikan di antara keduanya. Masyarakat seharusnya bisa menilai mana yang hanya dikategorikan bercanda, dan benar-benar masuk tindakan bullying.
"Yang membedakan, bullying jika dalam relasi di antara anak, ada relasi kuasa, ada pihak yang didominasi terus menerus, diposisikan rendah, tidak berdaya, tidak mungkin melawan atau merespons, diintimidasi, merasa tidak nyaman terus menerus, tidak diperhatikan perasaannya tidak nyamannya," terang Ika kepada detikcom Rabu (21/2/2024).
Berbeda jika ada ketersalingan, artinya antar anak bisa saling membalas, merespons satu sama lain, membentuk relasi yang kemudian setara.
"Mungkin saling kesal tetapi kemudian bisa saling happy, saling menertawakan diri masing masing. Itu masih relatif sehat meski perlu ditekankan pada anak, ada candaan yang sifatnya sensitif dan tidak diperbolehkan," sambung dia.
Konteks bercanda yang perlu diperhatikan misalnya berkaitan dengan hal sexist, menertawakan perempuan, melanggar hak seseorang, terkait status sosial dan ekonomi, merendahkan kemampuan orang lain, sampai yang berkaitan dengan ras, suku, agama.
"Apalagi merendahkan salah satu RAS," sorotnya.
Pihak orang tua ataupun guru sebaiknya mulai memperhatikan lingkup anak yang kemungkinan terjebak dalam bullying. Lebih peka saat anak melakukan interaksi, apakah relatif aman, atau sebaliknya.
Para kelompok dewasa juga sebaiknya tidak hanya mengimbau, melainkan memberikan contoh bagaimana sikap saling menghargai dan mengajak anak untuk berefleksi jika melakukan bullying pada orang lain, terkait dampaknya.
"Jangan lupa juga untuk mengajak anak memaknai minta maaf secara tulus dan mencontohkan sikap minta maaf yang tulus, lakukan segera jangan menunggu ada kejadian yang serius," bebernya.
Anak dan remaja juga seharusnya dikenalkan dengan budaya setara, alias semua orang mendapatkan hak yang sama, dan tidak memberikan label berbeda pada setiap anak.
"Menumbuhkan rasa dan sikap empati pada anak tidak hanya dengan jargon, tetapi mulailah dengan membantu anak merasakan langsung senangnya kalau dipahami dan orang berempati kepadanya. Jadinya mulailah dengan orang dewasa yang lebih dulu menunjukkan sikap empati pada anak," pesan dia.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Ortu Wajib Tahu! Ini Batasan Tegas 'Bercandaan Anak' Vs Bullying"