Foto: Getty Images/iStockphoto/PeopleImages |
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM) menemukan 16 produk sunscreen yang beredar di pasaran tak memenuhi data dukung klaim sun protector factor (SPF). Uji coba produk yang dilakukan BPOM menemukan bahwa klaim SPF yang tercantum dalam kemasan tak sesuai dengan yang terkandung di dalam produk.
"Hasil pengawasan terhadap penandaan dan iklan kosmetik tabir surya dengan klaim SPF pada periode tahun 2020-2023, sebanyak 16,67 persen produk tidak memenuhi ketentuan data dukung klaim SPF," tulis BPOM dikutip dari laman resminya, Jumat (22/9/2023).
Hasil pengawasan audit dokumen informasi juga menemukan hampir semua produk sunscreen yang beredar di masyarakat sepanjang 2020-2023 justru termasuk dalam kategori tidak memenuhi ketentuan (TMK).
Sunscreen dengan kadar SPF palsu jika digunakan tentu proteksinya tidak akan maksimal. Dermatolog dr Anthony Handoko, SpKK, mengatakan sunscreen dengan SPF palsu bisa membuat penggunanya mengalami sunburn lebih cepat dan tidak disadari.
"Contoh SPF 30 itu artinya, dalam 10 menit kan kalau kita nggak pakai sunscreen terbakar (kulitnya). Kalau dipakai SPF 30, itu berarti durasi proteksinya hingga kita terbakar itu sekitar 30 kali. Jadi ketika kita menggunakan SPF 30, itu baru terbakarnya di menit ke 300," terangnya.
Dampak jangka pendek pemakaian tabir surya dengan SPF rendah akan membiat kulit tidak terproteksi dan membuatnya mudah terbakar. Sementara, efek jangka panjang paparan sinar matahari bisa memicu kanker, menurunkan elastisitas kulit, membuat kulit cepat keriput, dan memunculkan flek pada kulit.
Untuk mengetahui keaslian produk tabir surya memang harus dilakukan pengujian di laboratorium yang sudah terstandarisasi. Metode pengukuran SPF dan Protection Grade of UVA (PA) pada sunscreen biasanya dilakukan dengan uji klinis di laboratorium.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "BPOM Temukan 16 Persen Produk Sunscreen SPF Palsu, Bisa Begini Efeknya ke Kulit"