Hagia Sophia

18 January 2024

Kasus Aborsi di Singapura Meningkat, Apakah yang Jadi Pemicunya?

Ilustrasi Singapura. (Foto: Getty Images)

Kasus kehamilan tidak direncanakan meningkat di Singapura. Studi yang dirilis SingHealth Polyclinics baru-baru ini menunjukkan jumlah perempuan yang mencari rujukan aborsi dari delapan poliklinik yang melakukan praktik demikian di rentang 2017 hingga 2020 meningkat 60 persen.

Perempuan yang mencari rujukan kemungkinan besar adalah wanita lajang yang berusia di bawah 20 atau di atas 40 tahun. Lebih dari 10 persen pasien berulang kali dirujuk untuk melakukan aborsi.

Secara keseluruhan, tercatat sekitar 4.000 aborsi dilakukan terhadap perempuan Singapura pada tahun 2020, menurut Kementerian Kesehatan.

Apa Pemicunya?

Konsultan Obstetri dan Ginekolog Singapura dr Ryan Lee menyebut peningkatan kehamilan tidak direncanakan bisa dilatarbelakangi beragam faktor. Salah satunya minim kesadaran dan pengetahuan terkait pendidikan seksualitas seperti pemahaman risiko aborsi medis, tradisi budaya, dan tidak memadainya akses terhadap layanan keluarga.

Literatur medis menunjukkan terdapat peningkatan kekhawatiran kesehatan masyarakat dan sosial terkait dengan kehamilan yang tidak direncanakan. Wanita dengan kehamilan yang tidak direncanakan, dibandingkan dengan kehamilan yang direncanakan, cenderung mengalami kecemasan dan perasaan negatif lebih tinggi, tingkat gejala depresi lebih tinggi selama kehamilannya, dan lebih rentan mengalami depresi pascapersalinan.

Secara hukum, aborsi dapat dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu. Aborsi medis, sebuah proses yang menggunakan obat-obatan untuk mengakhiri kehamilan, memiliki potensi risiko seperti sakit perut, perdarahan berkepanjangan, infeksi, dan terhambatnya produksi konsepsi yang memerlukan pembedahan pada sekitar 5 persen kasus.

Aborsi bedah, yang dapat dilakukan antara lima dan 14 minggu, melibatkan pengangkatan janin dan plasenta melalui penyedotan. Risikonya termasuk komplikasi anestesi dan perforasi uterus yang berhubungan dengan peningkatan risiko cedera pembuluh darah dan usus. Mungkin juga memerlukan pembedahan tambahan.

"Aborsi melalui pembedahan juga dapat mempengaruhi kesuburan di masa depan karena adanya jaringan parut di dalam lapisan rahim. Aborsi berulang kali dikaitkan dengan risiko kelemahan serviks yang lebih tinggi, meningkatkan risiko keguguran, persalinan prematur, dan kelahiran prematur," sorotnya, dikutip dari Channel News Asia.

Mengatasi kehamilan yang tidak direncanakan memerlukan pendekatan holistik. Meskipun Singapura mengintegrasikan pendidikan seksualitas ke dalam kurikulumnya mulai dari kelas 5 SD. Terdapat alasan untuk memperkenalkan pendidikan seksualitas lebih awal di sekolah dasar dengan topik yang sesuai dengan usia seperti pubertas dan reproduksi.

Penggunaan media sosial yang tepat juga dapat memainkan peran penting dalam melengkapi pendidikan formal. Melalui hal ini, para pendidik dapat menyebarkan informasi yang akurat dan dapat diandalkan, melawan potensi misinformasi yang ditemukan di ruang online.

Menumbuhkan lingkungan keterbukaan di rumah disebut dr Ryan juga berperan penting dan dapat membentuk pola komunikasi dan kepercayaan seumur hidup. Orang tua harus didorong untuk memulai diskusi jujur secara terbuka tentang seks sejak dini dalam kehidupan anak-anak mereka, daripada menghindar dari topik tersebut.

Waktu percakapan ini dapat bervariasi dari satu keluarga ke keluarga lainnya, dengan mempertimbangkan tingkat kedewasaan anak, rasa ingin tahu, dan konteks budaya. Umumnya, para ahli merekomendasikan agar orang tua memulai diskusi yang sesuai dengan usianya sejak anak memasuki prasekolah sekitar usia empat hingga lima tahun. Termasuk mengenalkan anak pada bagian mana yang merupakan bagian pribadi dan area yang tidak boleh disentuh orang lain.



























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kasus Kehamilan Tak Diinginkan di Singapura Meningkat, Inikah Pemicunya?"