![]() |
| Ilustrasi air minum. (Foto: Thinkstock) |
Netizen baru-baru ini ramai memperdebatkan sumber air Aqua dari air tanah, menuding kenyataan tersebut tidak sesuai dengan iklan yang selama ini melekat di masyarakat yakni mata air pegunungan.
"parah tidak sesuai labelnya," komentar salah satu warganet.
"air tanah bukan air pegunungan," timpal yang lain.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) belakangan juga bakal memanggil manajemen dan Direktur utama PT Tirta Investama selaku produsen air minum kemasan merek Aqua untuk memberikan klarifikasi.
Anggapan yang meluas di masyarakat dipastikan keliru. Peneliti hidrologi dari Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Rachmat Fajar Lubis meluruskan soal sumber air dan kualitasnya.
Tidak hanya Aqua, hampir seluruh perusahaan AMDK disebutnya kini beralih menggunakan air tanah tertekan atau yang diambil melalui metode pengeboran dengan kedalaman bervariasi, 60 hingga 104 meter. Aqua, di masa awal berdirinya, memang mengambil air langsung dari mata air pegunungan.
"Kalau dicatat, dulu memang perusahaan-perusahaan seperti Aqua mengambil air dari mata air. Setahu saya, masih ada dua sumber mereka yang berasal dari mata air, yaitu di Bali dan Solok," jelasnya, saat dihubungi detikcom Minggu (26/10/2025).
"Dulu, mungkin sekitar awal berdirinya di tahun 1973, iklan Aqua menonjolkan air pegunungan. Tapi sekarang, hampir semua sumbernya sudah diambil dari air tanah dalam, bukan dari mata air yang terbuka."
Meskipun kini banyak mengambil dari air tanah dalam, perusahaan AMDK tetap menyebut produknya air pegunungan. Menurut ahli, istilah itu masih relevan secara geologi.
"Mereka tetap menargetkan sumber air dari daerah gunung api, karena secara alami batuan vulkanik memiliki kandungan mineral yang melimpah dan baik untuk kesehatan," beber Fajar.
Walhasil, meski airnya diambil lewat pengeboran (bukan muncul alami di permukaan), air tersebut tetap berasal dari lapisan akuifer yang terbentuk oleh sistem geologi gunung api, sumber yang sama dengan mata air pegunungan.
Mata Air Rentan Kontaminasi
Ia mengingatkan sumber dari mata air justru lebih rentan terhadap kontaminasi bakteri dan bahan kimia, terutama di kawasan dengan aktivitas padat manusia atau hewan.
"Salah satu kontaminasi paling umum adalah bakteri E. coli yang bisa menyebabkan diare. Sumbernya dari kotoran hewan yang hidup di sekitar mata air. Hewan buang kotoran di tanah, lalu bakteri terbawa ke air," jelasnya.
Selain itu, tanaman dan lumut di sekitar mata air juga dapat menjadi media alami bagi mikroorganisme yang belum sepenuhnya diketahui dampaknya.
"Ada lumut yang menyejukkan, tapi ada juga yang bisa membawa mikroorganisme tertentu. Kita masih terus meneliti hal-hal semacam itu," tambahnya.
Lebih jauh, ia menjelaskan aktivitas pertanian dan rumah tangga di sekitar sumber air dapat meningkatkan risiko pencemaran, baik melalui pestisida, deterjen, maupun limbah organik. Semua itu mengandung unsur nitrat dan nutrien yang mudah terserap air tanah dangkal.
"Meskipun tidak ada niat mencemari, keberadaan manusia dan aktivitas pertanian di sekitar mata air akan menambah beban nutrien pada air tersebut," katanya.
Berbeda dengan itu, air tanah tertekan (confined aquifer), yang berada jauh di bawah permukaan umumnya bebas dari kontaminasi biologis karena tidak ada kehidupan mikroorganisme di lapisan tersebut. Air jenis ini hanya mengandung mineral alami dari batuan yang dilaluinya.
Penjelasan Fajar menunjukkan bahwa penggunaan sumur bor oleh perusahaan AMDK bukan berarti airnya tidak alami. Sebaliknya, metode itu justru bertujuan menjaga kualitas dan keamanan air dari potensi pencemaran di permukaan.
"Air tanah dalam dari daerah vulkanik tetap termasuk air pegunungan. Hanya saja, kini pengambilannya lebih terkontrol lewat pengeboran untuk memastikan kualitasnya tetap higiene," tutupnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Gaduh Sumber Air Aqua, Peneliti BRIN: Mata Air Pegunungan Malah Rentan Kontaminasi"
