Ilustrasi COVID-19. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Naeblys) |
Para peneliti menemukan kelainan autoimun baru yang terkait dengan COVID-19 yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru yang berbahaya. Kelainan tersebut dijuluki MDA5-autoimmunity and interstitial pneumonitis contemporaneous with the COVID-19 pandemic atau disingkat MIP-C.
Dikutip dari Live Science, kelainan tersebut merupakan kondisi langka dan serius yang terjadi saat sistem kekebalan tubuh secara tidak sengaja menyerang tubuh. Dalam kasus yang buruk, paru-paru bisa menjadi rusak dan kaku sehingga satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan pasien adalah transplantasi paru-paru.
"Dua per tiga dari kasus kami tidak memiliki penyakit paru-paru," kata ahli reumatologi di Universitas Leeds Inggris Dr Dennis McGonagle ketika pertama kali mengumpulkan pola penyakit baru ini.
"Tetapi kami melihat delapan kasus berkembang pesat dan meninggal meskipun kami telah melakukan semua terapi berteknologi tinggi untuk menangani mereka," sambungnya.
Dennis bersama rekan-rekannya hingga saat ini telah mengidentifikasi 60 kasus kelainan tersebut. Studi tersebut diterbitkan pada 8 Mei di jurnal eBioMedicine.
Ia menuturkan penyakit tersebut mirip dengan kondisi dermatomiosistis MDA5 yang hampir semuanya dialami oleh wanita keturunan Asia. Pasien mengalami nyeri sendi, peradangan otot, ruam kulit, dan dua pertiga kasus mengalami pembentukan jaringan parut di paru-paru yang sangat berbahaya.
Dermatomiositis MDA5 terjadi ketika sistem kekebalan menyerang salah satu sistem kekebalannya sendiri yaitu protein yang disebut MDA5 yang biasanya membantu mendeteksi virus RNA. Virus tersebut termasuk penyebab influenza, ebola, dan COVID-19.
Rumah sakit yang terkait dengan Universitas Leeds di Yorkshire mulai menyaring orang-orang dengan gejala autoimun untuk mencari autoimun terhadap protein tersebut. Pada tahun 2018, mereka menemukan tiga pasien, tahun 2019 tiga pasien, tahun 2020 delapan pasien, namun pada tahun 2021 tiba-tiba ada 35 kasus.
Para pasien membawa antibodi anti-MDA5, namun penyakit mereka berbeda dari dermatomiositis yang diketahui sebelumnya. Kebanyakan kasus tidak melibatkan paru, sebagian besar pasien berkulit putih, dan jumlah pasien perempuan lebih sedikit.
Dennis lantas bekerja sama dengan Dr Pradipta Ghosh dari Universitas California menyelidiki masalah ini lebih lanjut.
Ghosh telah menggunakan kerangka komputasi untuk mengambil data pengujian medis dan menemukan 'benang merahnya'. Tim Ghosh sebelumnya menerbitkan karya soal jaringan parut paru-paru pada COVID-19, serta MIS-C, sebuah sindrom peradangan yang muncul pada beberapa anak setelah mengidap COVID-19.
Tim lalu membandingkan data pasien dengan kondisi misterius, pasien dengan pneumonia akibat COVID-19, dan pasien dengan jaringan parut di paru yang tidak berkaitan dengan virus.
Pasien dengan pneumonia dan pasien autoimun keduanya memperlihatkan peningkatan aktivitas gen IFIH1 yang memberikan 'cetak biru' untuk MDA5.
Kebanyakan pasien dengan sindrom misterius tidak mengalami COVID-19 secara terkonfirmasi dalam catatan mereka. Namun, kemungkinan besar mereka terpapar virus corona dan mengidap penyakit yang ringan atau tanpa gejala. Lebih dari separuh pasien dipastikan telah mendapatkan vaksin COVID-19, meski jenis vaksin tidak diketahui secara spesifik.
Studi baru ini menunjukkan bahwa paparan RNA virus corona, vaksin COVID-19, atau keduanya terkadang dapat memicu produksi anti-MDA5 menurut Dennis.
Umumnya MDA5 akan aktif ketika mendeteksi RNA virus di dalam sel dan mendorong tubuh membentuk antibodi untuk melawan virus. Namun, orang dengan MIP-C, respon imun ini menjadi bermasalah. Masalah yang muncul seperti tubuh mengira protein MDA5 sebagai benda asing dan menyerangnya, atau RNA memicu respons kekebalan yang kuat sehingga tubuh protein termasuk MDA5 menjadi sasaran serangan kekebalan.
Aktivasi IFIH1 datang dengan muncul banyaknya protein inflamasi yang disebut interleukin-15 (IL-15). IL-15 mengaktifkan kelas sel kekebalan yang biasanya membunuh sel yang terinfeksi namun terkadang dapat menjadi jahat dan menyerang sel tubuh sendiri.
"Pekerjaan kami harus mengingatkan para dokter untuk mulai berpikir bahwa jika Anda melihat ada paparan virus atau vaksin atau hanya kontak dengan seseorang yang mengidap COVID dan mereka datang dengan nyeri sendi, ruam, nyeri, mari kita lihat paru-parunya," kata Ghosh.
Para peneliti masih mengumpulkan data, namun kasus baru MIP-C kini tampak menurun. Pada tahun 2022, Yorkshire mencatat 17 kasus atau sekitar setengah dari jumlah kasus pada tahun 2021.
Dennis berteori bahwa paparan RNA yang intens akibat gelombang COVID yang meluas pada tahun 2021 ditambah vaksinasi massal mungkin telah mendorong lonjakan kasus pada tahun tersebut. Para peneliti mengatakan mereka juga telah menerima laporan kemungkinan MIP-C dari wilayah lain.
Studi ini juga mengungkap rangkaian genetik tertentu dalam gen IFIH1 yang pada orang yang memiliki rangkaian tersebut, tampaknya mencegah respons inflamasi IL-15 yang tidak terkendali. Langkah selanjutnya adalah memahami mengapa orang lain rentan terhadapnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Ahli Temukan Sindrom Baru Terkait COVID-19, Efeknya ke Paru Bisa Mematikan"