Ilustrasi lonjakan kasus COVID-19 di India. (Foto: AP Photo) |
India mencatat peningkatan kasus kematian akibat COVID-19 hingga 114 persen, sementara lonjakan kasus dalam 28 hari terakhir menyentuh 437 persen. Laporan epidemiologi organisasi kesehatan dunia WHO menyebut wilayah Asia Tenggara melaporkan lebih dari 27 ribu kasus baru.
Trennya juga meningkat 152 persen dibandingkan dengan periode 28 hari sebelumnya, paling tinggi di India, berada di 18.130 kasus pasca semula di 3.378, diikuti oleh Maladewa, lalu Nepal. Demikian pula, India melaporkan setidaknya 62 kematian baru yang berarti 114 persen meningkat dengan 1 kematian baru per 100.000.
WHO sedang memantau varian baru Omicron XBB.1.16 di India yang diyakini berada di balik lonjakan kasus tiba-tiba. Dr Maria Van Kerkhove, pemimpin teknis COVID-19 WHO, mengatakan ada sekitar 800 genome sequence varian Omicron XBB.1.16 dari 22 negara.
Sebagian besar sequence-nya berasal dari India dan di India XBB.1.16 atau disebut varian Arcturus telah menggantikan varian lain.
"Profil XBB.1.16 sebenarnya sangat mirip dengan XBB.1.5 (subvarian Omicron). Ini memiliki satu mutasi mutasi tambahan pada spike protein, yang dalam penelitian laboratorium menunjukkan peningkatan infektivitas, serta potensi peningkatan patogenisitas (properti penyebab penyakit). Itu sudah beredar selama beberapa bulan," katanya, dikutip dari Business Today, Senin (3/4/2023).
Pakar kesehatan masyarakat mengatakan bahwa gejala varian baru ini kebanyakan mirip flu ringan. Orang mungkin mengalami gejala pada saluran pernapasan atas dan bawah. Dalam hal gejala saluran pernapasan bagian atas, pasien mengalami keluarnya cairan dari hidung, sakit tenggorokan, demam yang meningkat perlahan hingga berlangsung selama satu atau dua hari, dan kehilangan penciuman.
"Jika ada gejala-gejala ini, disarankan untuk dites COVID-19. Untuk gejala saluran pernapasan bagian bawah, orang mungkin mengalami bronkitis dan batuk parah. Varian baru ini berbeda dengan yang lain dalam artian penyebarannya lebih cepat dari varian lainnya. Namun, tingkat rawat inap sangat rendah dan dapat dikelola di rumah," kata Dr Kuldeep Kumar Grover, kepala perawatan kritis dan pulmonologi di Rumah Sakit CK Birla.
Grover menjelaskan bahwa belakangan ini, orang yang telah divaksinasi dan terpapar infeksi alami selama gelombang COVID-19 terakhir mengembangkan kekebalan yang kuat terhadap virus, yang disebut kekebalan hibrida. Dalam kekebalan hibrida, tubuh mengembangkan antibodi yang membantu melawan mutasi virus.
Terlihat bahwa kasus COVID-19 meningkat, tetapi tidak akan menyebabkan rawat inap massal karena kekebalan hibrida.
"Namun, disarankan demi menjaga tubuh dari risiko paparan mutasi COVID selama lonjakan varian baru dan influenza. Orang harus mencuci tangan, memakai masker, dan menghindari pertemuan sosial untuk mencegah penyebaran virus apa pun. Orang dengan gejala seperti batuk dan pilek sebaiknya menghindari pertemuan dengan orang lain agar infeksi tidak menular ke orang yang sehat," kata Grover.
India melaporkan peningkatan sebesar 3.095 kasus baru dalam 24 jam terakhir dengan positivity rate harian 2,61 persen. Prihatin dengan kebangkitan kembali kasus COVID-19 di negara tersebut, pemerintah pusat telah memperhatikan situasi di negara bagian.
"Lonjakan kasus yang tiba-tiba di seluruh India sedang terlihat. Alasan utamanya adalah varian baru yang menjadi perhatian COVID-19. Gejalanya ringan tetapi banyak pasien datang dengan pneumonia. Alasan umum lainnya adalah rendahnya cakupan vaksin sebagai pencegahan di antara masyarakat, yang kurang dari 30 persen," kata Dr Rahul Sharma, Direktur Pulmonologi dan Perawatan Kritis, Rumah Sakit Fortis Noida.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "COVID-19 di India Tiba-tiba Bangkit Lagi, Kasus Melonjak hingga 437 Persen!"