![]() |
| Diabetes. Foto: Getty Images/Mohamad Faizal Bin Ramli |
Wanita asal Surabaya, Lilla Syifa (Cipa), yang didiagnosis diabetes tipe 1,5 di usia 29 tahun mendadak menyita perhatian publik. Bukan karena memiliki riwayat keluarga diabetes, juga bukan karena obesitas berat. Justru sebaliknya, ia merasa dirinya "baik-baik saja". Aktivitas jalan terus, kerja lancar, dan keluhan tubuh yang muncul selama ini dianggap hal wajar karena lelah dan kurang tidur.
Sampai akhirnya tubuh memberi sinyal yang lebih keras. Gula darah melonjak tinggi, kondisi tubuh drop, dan sempat mengalami koma selama belasan hari. Setelah dilakukan pemeriksaan dokter mengatakan ia mengidap LADA (Latent Autoimmune Diabetes in Adults). Dari sinilah banyak yang mulai bertanya-tanya, bagaimana mungkin diabetes bisa datang secepat itu, di usia yang masih tergolong muda, dan tanpa disadari sebelumnya.
Ketika mendengar kata diabetes, banyak yang hanya mengenal dua jenis diabetes yaitu tipe 1 dan tipe 2. Padahal, ada satu jenis yang jarang diketahui, yaitu diabetes tipe 1,5 atau dikenal secara medis sebagai LADA (Latent Autoimmune Diabetes in Adults).
Kondisi ini terjadi ketika sistem imun tubuh secara perlahan merusak sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Prosesnya menyerupai diabetes tipe 1, tetapi muncul pada usia dewasa dan berkembang secara perlahan.
Pada tahap awal, kadar gula darah pada diabetes tipe 1,5 seringkali masih bisa dikontrol tanpa insulin. Banyak pengidapnya terlihat seperti mengalami diabetes tipe 2 karena masih merespons obat minum dan belum membutuhkan suntikan insulin. Situasi ini membuat diagnosis awal sering terlewat, terutama bila pemeriksaan lanjutan tidak dilakukan.
Seiring waktu, kerusakan sel pankreas terus berlangsung. Produksi insulin semakin menurun hingga akhirnya tubuh tidak lagi mampu mengontrol gula darah dengan baik. Pada fase inilah penderita diabetes tipe 1,5 biasanya mulai memerlukan terapi insulin, meskipun sebelumnya merasa kondisi kesehatannya baik-baik saja.
Diabetes tipe 1,5 dapat terjadi pada orang dengan berat badan normal dan tanpa riwayat diabetes dalam keluarga. Faktor gaya hidup seperti konsumsi gula berlebihan, kurang aktivitas fisik, dan stres berkepanjangan tidak menjadi penyebab utama gangguan autoimun ini, tetapi dapat mempercepat munculnya gejala dan memperburuk lonjakan gula darah yang sudah tidak stabil.
Apa Itu Pemeriksaan HbA1c?
Pemeriksaan HbA1c menunjukkan rata-rata kadar gula darah dalam dua hingga tiga bulan terakhir. Angka ini menggambarkan seberapa sering dan seberapa lama gula darah berada di level tinggi, bukan hanya kondisi sesaat. Semakin tinggi nilainya, semakin besar risiko paparan gula darah terhadap pembuluh darah dan organ tubuh.
Banyak yang merasa sudah aman dari diabetes karena hasil cek gula darahnya sesekali masih terlihat normal. Padahal, kadar gula darah bisa naik dan turun tergantung waktu makan, aktivitas, bahkan kondisi stres. Karena itu, pemeriksaan HbA1c menjadi salah satu indikator yang paling penting untuk menilai risiko diabetes.
Nilai HbA1c yang normal itu di bawah 5,7 persen. Jika hasil pemeriksaan HbA1c berada di kisaran 5,7 hingga 6,4 persen, kondisi ini dikenal sebagai prediabetes. Artinya, gula darah sudah mulai sulit dikendalikan dan risiko berkembang menjadi diabetes semakin besar, terutama bila pola hidup tidak berubah.
Sementara itu, nilai HbA1c 6,5 persen atau lebih sudah masuk kriteria diabetes. Pada level ini, gula darah tidak satu atau dua kali tinggi, melainkan menetap dalam jangka waktu lama. Kondisi inilah yang meningkatkan risiko kerusakan saraf, pembuluh darah, ginjal, mata, hingga jantung.
Mengaku Memiliki Pola Hidup Tidak Sehat
Dalam ceritanya, wanita Surabaya ini mengakui kegemarannya pada jajanan atau dessert manis yang viral. Kebiasaan ini terasa wajar, bahkan dianggap sebagai bentuk self-reward setelah stres bekerja seharian. Jajanan manis yang sering dimakan Cipa yaitu brownies, donat, minuman matcha, serta makanan dan minuman manis lainnya. Cipa mengaku bisa makan jajanan manis tersebut 3 kali sehari dan hampir setiap hari.
Kurang tidur, jarang olahraga, dan stres yang tidak terkelola turut memperparah kondisi. Saat tubuh kurang istirahat, sensitivitas insulin menurun. Saat stres, hormon kortisol meningkat dan mendorong gula darah naik. Kombinasi ini membuat pankreas bekerja lebih keras, sampai akhirnya tidak mampu lagi mengimbangi kebutuhan insulin.
Menurut dokter yang menanganinya, diabetes yang Cipa idap disebabkan oleh pola hidup yang tidak sehat tadi.
Berapa Batas Konsumsi Gula Sehari?
Kementerian Kesehatan menetapkan anjuran asupan gula tambahan tidak melebihi sekitar 50 gram per hari, dan akan jauh lebih baik bila dibatasi hingga sekitar 25 gram. Angka ini bukan hanya menghitung gula yang ditambahkan sendiri, tetapi juga seluruh gula tambahan yang masuk dari berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang hari.
Masih banyak yang tanpa sadar melewati batas konsumsi gula harian. Satu porsi minuman kekinian atau dessert manis saja bisa menyumbang sebagian besar kebutuhan gula harian. Contohnya 1 porsi Red Velvet Cake mengandung 36 gr gula, 1 buah donat mengandung 20 gr gula, dan segelas matcha mengandung 30 gr gula. Ketika dikombinasikan dengan makan utama dan camilan lain, gula darah cenderung melonjak lebih sering dan lebih tinggi, membuat tubuh bekerja ekstra untuk mengendalikannya dari hari ke hari.
Gejala Diabetes atau Hiperglikemia yang sering diabaikan
Hiperglikemia, atau kondisi ketika kadar gula darah terlalu tinggi, jarang datang dengan gejala yang langsung terasa berbahaya. Tanda-tandanya muncul perlahan dan kerap dianggap sebagai bagian dari rasa cape karena rutinitas harian. Tubuh sebenarnya sudah memberi sinyal, hanya saja sering dianggap 'tidak jelas'.
Rasa haus yang terus-menerus menjadi salah satu gejala awal yang paling sering muncul. Mulut terasa kering, tenggorokan tidak nyaman, dan keinginan minum muncul berulang kali. Bersamaan dengan itu, frekuensi buang air kecil biasanya meningkat, terutama pada malam hari. Kondisi ini terjadi karena ginjal berusaha membuang kelebihan gula melalui urine, sehingga tubuh kehilangan lebih banyak cairan.
Gejala lain yang kerap muncul adalah tubuh terasa mudah lelah, lemas, dan kurang bertenaga meski tidak melakukan aktivitas berat. Konsentrasi menurun, kepala terasa ringan, dan sering merasa ngantuk, terutama setelah makan. Pada sebagian orang, kondisi ini disangka sebagai efek kurang tidur, masuk angin, atau stres setelah kerja, sehingga tidak langsung dicurigai sebagai gejala diabetes.
Gejala juga bisa muncul pada otot dan saraf. Kram pada kaki, rasa kesemutan, atau sensasi tidak nyaman pada tangan dan kaki mulai terasa, terutama saat malam hari. Luka kecil yang sulit sembuh dan kulit yang terasa lebih kering dari biasanya juga bisa menjadi tanda bahwa kadar gula darah sudah mengganggu proses pemulihan jaringan.
Pada tahap yang lebih berat, hiperglikemia dapat memicu mual, penglihatan kabur, hingga penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Jika kondisi ini dibiarkan, gula darah bisa meningkat drastis dan menyebabkan keadaan darurat seperti penurunan kesadaran atau koma, sebagaimana yang terjadi pada Cipa yang baru terdeteksi saat sudah parah.
Gejala-gejala ini sering kali muncul bersamaan dengan kebiasaan konsumsi gula yang tinggi dan gaya hidup yang tidak sehat. Karena terasa biasa dan tidak spesifik, banyak orang memilih menunda pemeriksaan. Padahal, mengenali tanda-tanda hiperglikemia atau diabetes sejak dini dapat menjadi langkah penting untuk mencegah diabetes berkembang lebih jauh dan menimbulkan komplikasi serius.
Bisakah Diabetes Menyebabkan Hilang Ingatan dan Lumpuh?
Pada kondisi gula darah yang sangat tinggi dan tidak terkontrol, risiko komplikasi serius memang bisa terjadi. Hiperglikemia kronis dapat merusak pembuluh darah kecil di otak dan saraf, meningkatkan risiko stroke, gangguan saraf, hingga penurunan fungsi kognitif.
Dalam kondisi ekstrem, diabetes dapat menyebabkan koma, gangguan organ, bahkan kelumpuhan bila terjadi kerusakan saraf pada fungsi motorik akibat gula darah yang tidak terkendali. Jadi, ini bukan sekadar kemungkinan, melainkan risiko medis yang nyata bila diabetes tidak ditangani dengan serius.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Fakta-fakta Wanita Asal Surabaya Idap Diabetes Tipe 1,5 di Usia 29"
