Warga Jepang. (Foto: Khadijah Nur Azizah/ detikHealth) |
Streptococcal Toxic Shock Syndrome (STSS) dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan karena peningkatan kasusnya di Jepang. STSS merupakan sebuah komplikasi langka dan fatal yang terjadi akibat racun dari infeksi 'bakteri pemakan daging' streptokokus grup A atau Strep A.
Julukan 'bakteri pemakan daging' lebih banyak digunakan orang awam karena pada kondisi lain, infeksi strep A yang sudah parah juga dapat menyebabkan necrotizing fasciitis (NF) atau kerusakan jaringan fascia yang membuat area terinfeksi seakan-akan dimakan bakteri tersebut.
Bakteri Strep A sebenarnya merupakan bakteri 'umum' dan bukan baru kali ini ditemukan. Bahkan bakteri ini bisa berada di tubuh, kulit, hingga dalam saluran pernapasan.
Guru Besar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof dr Amin Soebandrio PhD SpMK menjelaskan bahwa infeksi Strep A sebenarnya tidak serta merta membuat seseorang mengalami STSS. Ia berkata bahwa STSS bisa dicegah apabila infeksi fase awal bisa langsung ditangani dengan cepat.
Prof Amin berpendapat bahwa peningkatan kasus STSS di Jepang dapat disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya adalah seperti pola pekerjaan masyarakat hingga penanganan infeksi Strep A yang tidak baik.
"Ya yang di Jepang sendiri kita belum mendapatkan data yang lengkap. Tentu kita mesti melihat faktor risikonya terjadi luka di kulit ya. Misal pola mereka ada yang kerja di sawah, atau kegiatan sehari-harinya berisiko memunculkan luka hingga infeksi," kata Prof Amin.
Senada dengan Prof Amin, ahli epidemiologi Dicky Budiman menyebut bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut terkait peningkatan kasus STSS yang terjadi di Jepang. Namun, Dicky menduga hal ini mungkin disebabkan juga oleh mayoritas penduduk Jepang yang sudah masuk kategori lansia dan rentan.
Selain itu ia juga menduga adanya keterkaitan pandemi COVID-19 dengan peningkatan kasus STSS di Jepang. Menurutnya, imunitas yang baik berperan besar dalam pencegahan STSS apabila seseorang terinfeksi Strep A.
"Kemungkinan karena penduduk yang juga lebih tua daripada negara maju lain, termasuk bicara kondisi penyakit kronisnya kemungkinan bisa lebih terdampak mengenai kelompok rawan ini. Adapun penyebab pastinya tentu perlu kajian," kata Dicky diwawancarai terpisah.
"Salah satu yang harus dikaji juga adalah dampak infeksi COVID yang umumnya pada orang imunitas buruk ya tambah buruk kondisinya sehingga menempatkan orang-orang ini pada situasi sangat rentan," tambahnya.
Kenaikan kasus STSS di Jepang dibarengi dengan laporan angka kematian sebanyak 77 orang pada periode Januari-Maret 2024. Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum memberikan 'rambu-rambu' peringatan terkait penyakit tersebut.
Dicky berpendapat, belum adanya 'rambu-rambu' peringatan oleh WHO terkait STSS ini berkaitan dengan skala penyakit yang masih cenderung kecil dan lokal. Selain itu, ia menambahkan STSS bukanlah sebuah penyakit baru, meskipun memang ada tren peningkatan dalam beberapa waktu terakhir di Jepang.
"Karena ini bukanlah suatu penyakit yang sebetulnya sifatnya seperti outbreak dalam artian besar di masyarakat atau seperti COVID ya, ini umumnya localize. Jadi antara lain itu belum masuk kategori public health emergency," jelas Dicky.
"Apalagi kalau ini akan dikatakan suatu wabah besar epidemi atau mungkin pandemi ya itu masih jauh sekali, tidak seperti itu," sambungnya.
Prof Amin mengatakan sebagian besar infeksi Strep A yang terjadi berakhir sembuh dan tidak berlanjut menjadi STSS. Oleh karena itu, ia meminta masyarakat untuk tetap tenang namun tetap waspada terkait ancaman keparahan infeksi Strep A tersebut.
"Kalau yang harus diberi warning WHO itu kan kalau sudah ada ancaman terjadinya pandemi, atau sebagai public health emergency of international concern (PHEIC) itu ya. Kalau masih dalam satu negara, apalagi negara itu cuma terbatas di kota tertentu itu tentu masih menjadi tugas negara tersebut untuk mengatasi," kata Prof Amin.
"Sebagian besar ini sembuh sih, tapi kalau kelihatan tanda infeksi tentu harus segera diatasi. Semua diawali juga dengan kebersihan perorangan ya. Itu sangat menentukan jadi kalau kita bisa mengatasi infeksi pada fase-fase awal, maka Insya Allah tidak terjadi infeksi sampai otot," tandasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Bakteri 'Pemakan Daging' Ada di Mana-mana, Kenapa STSS Melonjak di Jepang?"