Hagia Sophia

23 August 2023

Riset: Dampak COVID-19 Tetap Ada Hingga 2 Tahun

Foto: Getty Images/iStockphoto/oonal

Lagi-lagi kabar kurang menyenangkan perihal gejala COVID-19 berkepanjangan atau disebut sebagai 'Long COVID'. Kali ini sebuah penelitian menemukan, orang yang pernah terinfeksi virus Corona memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai masalah kesehatan hingga dua tahun setelah dinyatakan sembuh.

Masalah kesehatan yang dimaksud berupa masalah jantung, pembekuan darah, diabetes, komplikasi neurologis, kelelahan hingga gangguan kesehatan mental. Risikonya pun semakin besar pada orang-orang yang sempat mengalami gejala berat akibat COVID-19, atau sempat menjalani perawatan di rumah sakit.

Mengacu pada studi Global Burden of Disease dari Institute for Health Metrics and Evaluation, COVID-19 yang berkepanjangan menciptakan beban kecacatan yang lebih tinggi dibandingkan penyakit jantung atau kanker.

"Ketika saya melihatnya pada awalnya, saya benar-benar terkejut," kata penulis studi tersebut sekaligus direktur pusat epidemiologi klinis di Sistem Perawatan Kesehatan Veterans Affairs St. Louis, dr Ziyad Al-Aly, dikutip dari CNN, Selasa (22/8/2023).

"Kami melakukan analisis berkali-kali, dan hasilnya selalu sama," bebernya lebih lanjut.

Namun berdasarkan berbagai pertimbangan, Al-Aly menyadari bahwa sebenarnya, efek berat kondisi long COVID seharusnya tak lagi menjadi sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, penyakit ini bisa mempengaruhi banyak bagian tubuh sekaligus dalam sekali infeksi.

"Saya pikir kita perlu memahami bahwa infeksi menyebabkan penyakit kronis dan kita perlu menangani infeksi ini dengan serius," ungkap Al-Aly. Sembari ia menyoroti, gejala long COVID tersebut tetap ada walaupun gejala yang dialami pasien semasa terinfeksi virus Corona tampak ringan.

Penelitian tersebut diterbitkan pada Senin (21/8) di jurnal Nature Medicine. Para peneliti mengamati catatan medis dari hampir 140 ribu orang yang bertahan selama 30 hari setelah infeksi COVID-19 pada 2020. Seluruh subjek tersebut kemudian dibandingkan dengan 6 juta pasien lainnya di negara tersebut.

Satu hal yang digarisbawahi oleh peneliti, tak satu pun dari subjek dalam penelitian tersebut sudah divaksinasi ketika terinfeksi virus Corona. Pasalnya saat itu, vaksin COVID-19 memang belum tersedia, begitu juga pengobatan antivirus. Penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi dan pengobatan dini dapat membantu mengurangi risiko jangka panjang terhadap virus corona.

Al-Aly mengatakan, ia sengaja memilih kategori subjek penelitian tersebut karena ingin mempelajari lebih lanjut tentang efek jangka panjang COVID-19. Untuk itu, ia perlu menemukan pasien yang sudah bertahan hidup lebih dari dua tahun sejak terinfeksi virus Corona.

Namun ia juga mengklaim, penelitian ini memberikan gambaran yang pasti perihal berapa lama orang mengalami dampak fisik akibat infeksi awal.

Dalam waktu dua tahun sejak infeksi virus Corona, risiko pasien mengalami gejala long COVID memang menurun. Namun, ada beberapa masalah long COVID yang tetap ditemukannya seperti pembekuan darah, detak jantung yang lebih lambat dari biasanya, kelelahan, diabetes, masalah pencernaan, masalah tidur, nyeri otot dan persendian, sakit kepala, kehilangan pendengaran dan penciuman, dan disfungsi sistem saraf otonom.

"Saya pikir sangat menarik bahwa mereka menemukan bahwa bahkan setelah dua tahun, masih ada masalah kesehatan yang signifikan yang dialami oleh mereka yang terinfeksi COVID dibandingkan dengan mereka yang tidak. Itu adalah aspek kuncinya," beber salah satu direktur Klinik Sindrom COVID-19 Pasca Akut Stanford, dr Linda Geng.



























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kabar Tak Enak buat Alumni COVID, Riset Sebut Efeknya Bisa Muncul Dalam 2 Tahun"