Ilustrasi logo WHO. (Foto: Getty Images/diegograndi) |
Belum lama ini beredar beragam informasi soal WHO Pandemic Treaty, tidak sedikit yang menuding perjanjian persiapan penanganan pandemi itu malah akan merugikan negara yang sepakat menandatanganinya. Misalnya, pernyataan dari mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
"Jadi kalau pemerintah kita menandatangani pandemic treaty artinya pemerintah tidak akan berdaya melindungi rakyatnya, kita ditekan oleh WHO," klaim Siti dalam video yang diunggah di media sosial, seperti dilihat detikcom Jumat (31/5/2024).
Wanita kelahiran Surakarta itu khawatir bila Indonesia menandatangani perjanjian terkait, kedaulatan suatu negara akan berpindah ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), khususnya dalam menangani pandemi di masa mendatang.
Peneliti global health security Dicky Budiman menepis tudingan tersebut. Menurutnya, dalam proses pembahasan WHO Pandemic Treaty tidak ada satu kalimatpun yang membenarkan informasi demikian.
"Memang ramai teori konspirasi yang menyatakan salah satunya terganggunya kedaulatan negara, dalam artian negara menyerahkan kedaulatan negara kepada WHO, misalnya kekuasaan untuk menetapkan lockdown. mandat vaksin pada negara-negara, tetapi faktanya itu fake, itu false, salah, tidak benar, tidak pernah ada diusulkan ataupun dituangkan termasuk dalam agreement perjanjian ini," tegas Dicky saat dihubungi Kamis (30/5).
"Perjanjian ini tidak dapat menyerahkan kedaulatan suatu negara ke WHO, itu prinsipnya, dan apa yang disampaikan sebetulnya terkait kedaulatan adalah sifatnya pertahanan perlindungan sampel virus, tata cara serah terima intelektual property, itu yang masih menjadi diskusi saat ini," sorotnya.
Dicky menjelaskan target penandatanganan perjanjian tersebut memang mundur dari wacana sebelumnya Mei 2024, menjadi Juni 2024. Sebab, banyak negara yang belum memutuskan menyepakati persetujuan dengan alasan tertentu.
Misalnya Amerika Serikat hingga Eropa, hal yang kemudian masih disoroti adalah bagaimana nantinya pandemi didefinisikan, hingga proses negara mendeklarasikan suatu pandemi.
"Ini menjadi salah satu alasan ditunda karena banyak yang belum tuntas, termasuk bagaimana nanti kemudian ada kejelasan mekanisme prosedur tata cara anggota WHO berkoordinasi bekerja sama dalam situasi pandemi," tandas dia.
Apa Untungnya WHO Pandemic Treaty?
Awal mula pembentukan WHO Pandemic Treaty sebetulnya berangkat dari pembelajaran pandemi COVID-19, saat banyak negara belum siap menghadapi virus baru, yang kemudian menewaskan puluhan juta orang di dunia. Kala itu, tidak sedikit negara berkembang kesulitan mendapat stok vaksin dan akses pengobatan lain.
"Diawali dari kesepakatan atau pembicaraan pemimpin dunia pada Maret 2021 ketika pandemi begitu berdampak, bukan hanya satu atau dua negara, tapi secara global termasuk merugikan miliaran dollar AS, dan juga secara jelas terlihat bagaimana urang perbedaan kondisi negara berkembang, negara miskin, dengan negara maju," jelas Dicky.
"Ketimpangan akses vaksin antara negara berkembang dan maju, 30-40 persen blm mendapat vaksinasi akibat antrean ketidaksetaraan dan ketidakadilan itu, di sisi lain bagaimana respons negara mendeteksi, kemampuan tes, dan keinginan political treatment yang berbeda, dan ini semua keputusan dunia tidak mau menghadapi itu lagi," sambung dia.
WHO Pandemic Treaty diupayakan untuk mempersiapkan setiap negara siap dalam menghadapi pandemi mendatang termasuk alat kesehatan dan bagaimana mendeteksi wabah yang mungkin menjadi pandemi di masa depan.
"Karena pandemi itu pasti terjadi, dan itu tinggal menunggu waktu. Itulah sebabnya perlu ada suatu komitmen global yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, yang pada hakikatnya atau impiannya ingin menjamin dunia tidak akan porak poranda seperti masa COVID-19," pungkas dia.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Viral Eks Menkes Siti Fadilah Sebut Pandemic Treaty WHO Berbahaya, Ini Faktanya"