Potret kerusakan pesawat Boeing 777 London-Singapura akibat turbulensi parah. Foto: REUTERS/Stringer |
Beberapa bulan terakhir, pemberitaan mengenai turbulensi pesawat sering muncul. Para peneliti, kru pesawat, dan pejabat transportasi memperingatkan tentang hubungan antara udara yang menghangat dan kaitannya dengan turbulensi.
Salah satu kasus turbulensi yang menarik perhatian adalah penerbangan Singapore Airlines (21/5). Pesawat mengalami turbulensi hebat di atas Samudra Hindia, dan dalam rentang waktu hanya satu detik, pesawat jatuh hingga 178 kaki.
Seorang penumpang, pria berusia 73 tahun, meninggal dunia, dan puluhan orang lainnya terluka. Pesawat yang sedang dalam perjalanan dari London ke Singapura itu melakukan pendaratan darurat di Bangkok, dan berita tentang insiden tersebut menempatkan turbulensi pesawat dan pengetahuan di baliknya, kembali menjadi perbincangan nasional dan internasional.
Turbulensi Makin Sering Terjadi
Ada alasan kuat untuk ini. Penelitian menunjukkan, turbulensi udara menjadi lebih umum, dan diperkirakan akan semakin sering terjadi dan makin parah akibat perubahan iklim.
Sebagian besar gangguan dalam penerbangan ini tidak berbahaya, asalkan prosedur keselamatan dipatuhi. Namun, kejadian turbulensi yang lebih intens dapat menciptakan pengalaman penerbangan yang lebih menegangkan atau berbahaya bagi penumpang dan kru pesawat.
"Bukan berarti kita harus berhenti terbang, atau pesawat akan jatuh dari langit," kata Paul Williams, ilmuwan atmosfer di University of Reading yang meneliti turbulensi udara, dikutip dari Smithsonian Magazine.
"Saya hanya mengatakan bahwa untuk setiap sepuluh menit yang Anda habiskan dalam turbulensi parah di masa lalu, bisa jadi itu akan terjadi selama 20 atau 30 menit di masa mendatang," ujarnya.
IN PICTURES: The damaged interior of @SingaporeAir flight SQ321 after it hit severe turbulence and was forced to make an emergency landing in Bangkok. One man died in the incident (Photos: Reuters) https://t.co/JZfqJcRzdM pic.twitter.com/MzlXOdQ6yd
— CNA (@ChannelNewsAsia) May 21, 2024
Williams dan peneliti lainnya menerbitkan sebuah studi pada tahun 2019, yang menunjukkan bahwa suhu atmosfer yang lebih tinggi akibat perubahan iklim dan pemanasan global, berkontribusi secara signifikan terhadap terjadinya lebih banyak kasus turbulensi.
Insiden turbulensi pesawat yang parah meningkat sebesar 55% dari tahun 1979 hingga 2020, menurut sebuah studi tahun lalu. Dan geseran angin atau perubahan tiba-tiba dalam kekuatan atau arah angin, dalam jarak pendek, pada ketinggian jelajah pesawat, telah meningkat sebesar 15% sejak tahun 1979. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat antara 17-29% pada akhir abad ini.
Peneliti menuliskan, di atmosfer, udara yang lebih hangat dapat menahan lebih banyak uap air, yang pada gilirannya akan meningkatkan suhu yang lebih hangat. Hal ini dapat menciptakan perbedaan suhu udara, yang membuat pergeseran angin lebih umum terjadi.
Temuan mereka menunjukkan bahwa turbulensi yang cukup kuat hingga menimbulkan risiko cedera dapat menjadi dua atau tiga kali lebih mungkin terjadi di Atlantik Utara antara tahun 2050 hingga 2080.
"Hal ini mempengaruhi pola angin, dan salah satu dampak yang sedang terjadi adalah aliran jet," kata Todd Lane, ilmuwan atmosfer di University of Melbourne.
"Aliran jet yang berada pada ketinggian pesawat diperkirakan akan meningkat, yang berarti bahwa wilayah tersebut akan menjadi lebih bergolak," jelasnya.
Beberapa turbulensi disebabkan oleh badai petir, yang juga diproyeksikan akan memburuk seiring perubahan iklim. Namun, turbulensi lainnya tidak terkait dengan badai, sehingga lebih sulit diprediksi oleh pilot.
Turbulensi udara jernih ini, yang disebut 'turbulensi tak terlihat', juga diproyeksikan akan meningkat berdasarkan beberapa skenario perubahan iklim. Turbulensi ini dapat menjadi empat kali lebih umum di tahun 2050 dibandingkan dengan tingkat historis.
Turbulensi terjadi di seluruh dunia dan paling sering dirasakan di dekat pegunungan dan wilayah tepi aliran jet. Tiga jalur penerbangan paling bergejolak di dunia adalah Santiago, Chili, ke Santa Cruz, Bolivia, Almaty, Kazakhstan ke Bishkek, Kirgistan dan Lanzhou, China ke Chengdu, China.
Namun, penumpang pesawat Amerika Serikat (AS) yang menggunakan penerbangan domestik juga tidak luput dari tren ini. Pilot AS melaporkan 65 ribu insiden turbulensi sedang dan 5.500 insiden turbulensi parah atau lebih parah setiap tahun.
Sara Nelson, Presiden Association of Flight Attendants-CWA, sebuah serikat pekerja yang mewakili pramugari, menyebut turbulensi sebagai masalah keselamatan tempat kerja yang serius.
Perubahan Iklim Berdampak Signifikan
Menteri Perhubungan AS Pete Buttigieg mengatakan dalam program 'Face the Nation' di CBS News bahwa turbulensi terjadi lebih sering, dan perubahan iklim merupakan faktor signifikan yang akan mempengaruhi pelancong AS, baik di dalam maupun di luar negeri.
"Iklim kita terus berubah. Kebijakan, teknologi, dan infrastruktur kita juga harus berubah sesuai dengan perubahan tersebut," kata Buttigieg, dikutip dari CNBC.
Teknologi untuk mendeteksi turbulensi semakin baik, dan inovasi baru sedang dalam proses pengembangan. Pilot saat ini dapat menggunakan prakiraan turbulensi, yang menunjukkan rute paling mulus untuk ditempuh. Dan turbulensi yang disebabkan oleh cuaca badai sering diidentifikasi oleh pusat cuaca, satelit, dan sensor serta radar di darat.
Namun, turbulensi udara bersih masih sulit diprediksi secara akurat. Perkembangan teknologi LIDAR, meskipun masih mahal dan terlalu rumit untuk diterapkan, telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.
"Saya telah melihat beberapa penerbangan eksperimental, dan Anda memang dapat melihat turbulensi udara jernih sejauh 20 mil, misalnya, di depan pesawat," tutur Williams.
Artikel ini telah tayang di inet.detik.com dengan judul "Turbulensi Pesawat Makin Sering Terjadi, Perubahan Iklim Salah Satu Penyebabnya"