Hagia Sophia

21 November 2024

Banyak Anak Muda di China Merasa Kesepian

Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/torwai

Anak muda di China semakin banyak yang mengalami kesepian. Salah satu bentuk krisis kesepian ini terlihat dari banyaknya unggahan dengan tagar 'companion chat' atau 'obrolan teman' di media sosial China, Xiaohongshu.

Di sana, banyak orang yang bersedia membeli atau menjual jasa untuk sekedar mengobrol selama beberapa menit secara virtual.

"Apakah ada yang bisa diajak ngobrol? Saya akan membayar berapa saja," demikian bunyi salah satu unggahan dengan tagar tersebut.

Dalam hitungan jam, pengguna tersebut menerima lusinan balasan dari orang-orang yang memang menawarkan jasa mereka. Hal ini mencerminkan tingginya minat konsumen yang rela menghabiskan uang untuk mengusir rasa kesepian.

Seiring meningkatnya warga yang melajang, membuat mereka lebih memilih mengobrol atau bermain peran (role-play) dengan orang asing secara virtual. Kondisi ini juga membuka peluang bagi industri pertemanan virtual, seperti chatbot yang didukung kecerdasan buatan (AI) hingga cosplayer manusia yang bisa bertemu langsung dengan biaya tertentu.

"Ekonomi pertemanan yang berkembang pesat ini merupakan respons terhadap perubahan demografi di China," kata seorang profesor dalam studi China dan Asia di Universitas New South Wales, dan penulis Love and Marriage in Globalizing China, Wang Pan.

"China menjadi semakin sepi, sehingga orang-orang memiliki keinginan yang kuat untuk cinta, keintiman, dan kedekatan. Hal ini menciptakan ruang bagi pertumbuhan bisnis (pertemanan) yang sangat menguntungkan," sambungnya yang dikutip dari The Star.

Li Shuying, seorang mahasiswa berusia 18 tahun menjadi salah satu penyedia jasa pertemanan di media sosial. Wanita itu memasang iklan di Xiaohongshu bersedia memberikan jasa untuk obrolan semacam itu.

"Saya hanya ingin mendapatkan uang. Saya pikir, ini adalah pekerjaan termuda dan paling tidak merepotkan di luar sana," tuturnya.

Di Xiaohongshu, pengguna yang menawarkan jasa obrolan teman ini biasanya mematok biaya mulai dari 8 yuan (17 ribu rupiah) hingga 50 yuan (109 ribu rupiah) selama 30 menit. Dengan waktu luang yang dimilikinya, Li biasanya memasang harga yang masih relatif murah.

Selama mengobrol, ia menerima berbagai pertanyaan yang sebagian besar laki-laki. Namun, Li juga kerap mengobrol dengan anak perempuan seusianya yang ingin melampiaskan rasa frustrasinya terhadap teman-teman di kelasnya.

"Banyak dari obrolan tersebut mengandung nuansa yang romantis. Tetapi, beberapa di antaranya ada juga yang hanya mencari teman untuk bersahabat," ungkap Li.

Pertemanan Melalui Video Game

Segmen lainnya yang juga menguntungkan dari bisnis pertemanan ini adalah video game otome. Permainan tersebut menawarkan pengalaman interaktif dan berbasis cerita, di mana pemain berperan sebagai protagonis yang menjalani hubungan romantis.

Menurut laporan Sinolink Securities, game tersebut biasanya menarik bagi anak muda yang paham teknologi, tetapi merasa kesepian. Mereka sering kali mengembangkan perasaan yang kuat terhadap karakter dalam game, bahkan mungkin merasa hubungan virtual ini lebih bermakna daripada yang mereka miliki dalam kehidupan nyata.

Sebelumnya, chatbot dengan kepribadian yang bisa disesuaikan juga kerap digunakan anak-anak muda yang merasa kesepian. Itu menyediakan interaksi digital yang lebih mirip dengan manusia.

"Melalui teknologi digital ini, mereka dapat membenamkan diri dalam fantasi yang mereka bayangkan dan senang menjalin hubungan dengan karakter-karakter ini," pungkasnya.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Generasi Muda China Kesepian, Rela Keluar Duit Buat Bayar Teman Ngobrol"