![]() |
| Ilustrasi HIV (Foto: Getty Images/iStockphoto/InspirationGP) |
Kementerian Kesehatan RI mengestimasi ada sekitar 564 ribu orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia. Namun hingga kini, baru 68 persen yang berhasil ditemukan atau diketahui statusnya.
Bukan hanya soal kurangnya layanan, tapi status ODHIV juga sulit diketahui imbas tembok besar bernama stigma dan diskriminasi. Walhasil, penularan berisiko masih terus meluas.
Hal itu diakui Rizki Anisa Sari, anggota Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Banten. Ia menyebut stigma masih muncul di berbagai lini, bahkan di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman, rumah sendiri dan fasilitas kesehatan.
"Stigma itu ada di pasangan, ada di layanan kesehatan. Bayangin, masih ada petugas yang nanya, 'kena HIV dari mana? makanya tobat'. Saya heran, kok masih ada stigma dari petugas kesehatan? Untuk apa sih?" bebernya dalam konferensi pers Kemenkes RI baru-baru ini.
Rizki menuturkan, banyak perempuan yang akhirnya memilih diam karena takut disalahkan, sehingga tidak jarang berhenti melakukan pengobatan.
"Ibu-bapak petugas kesehatan, kami sudah HIV positif, ngapain lagi ditanya begitu? Banyak kasus perempuan tertular dari suaminya. Siapa sih yang mau? Kami juga maunya hidup seperti orang lain, tanpa harus minum ARV seumur hidup, tanpa menopause dini, tanpa pengeroposan tulang."
Rizki sendiri sudah 18 tahun hidup dengan HIV. Ia membuktikan bahwa hidup tetap bisa berjalan normal, selama rutin meminum obat.
"Anak saya negatif, sehat. Saya berdaya, bisa berdiri dengan kaki sendiri. Pasangan kedua saya, setelah tiga tahun, masih negatif," katanya.
Namun ia juga memahami perasaan putus asa yang sering muncul pada ODHIV. "Ada yang bilang: 'minum ARV nggak mau, udahlah saya mending mati aja.' Saya dulu juga begitu. Tapi kalau saya egois, saya nggak mikirin diri dan orang-orang di sekitar saya. Makanya saya terus minum ARV."
Di sisi lain, Koalisi AIDS Indonesia melihat masalah ini sebagai kombinasi antara aspek medis dan beban sosial yang jarang disentuh. Patrick, perwakilan Koalisi AIDS Indonesia, menjelaskan tekanan sosial menjadi penentu besar mengapa banyak orang enggan dites atau berobat.
"Teman-teman HIV positif dan populasi terdampak lainnya bukan cuma pesimis karena kondisi kesehatan. Mereka terpukul oleh stigma dan diskriminasi. Itu menimbulkan self-stigma, ketakutan untuk periksa atau minum obat. Dampaknya jelas, kualitas hidup turun," ujar Patrick.
Menurutnya, isu stigma kerap disebut tapi jarang benar-benar dibahas, apalagi diselesaikan. Kampanye publik selama ini pun masih lebih banyak mengandalkan komunitas atau LSM.
"Kami mengubah strategi. Biasanya kami yang ngajak publik figur terlibat. Sekarang kami balik, publik figur-lah yang kami undang agar mereka paham konteksnya. Biar kampanyenya bukan cuma datang lalu foto-foto," jelasnya.
Gerakan tersebut ingin mendekatkan publik dengan realitas sosial HIV, bukan sekadar jargon medis.
"Sekarang pendekatannya dibuat lebih personal. 'Ayo tes HIV, ayo berobat. Tenang, ada gue yang nemenin.' Itu yang ingin kita bangun," tutup Patrick.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Stigma ODHIV Picu Kasus Sulit Ditemukan, Pasien Makin Enggan Berobat"
