Hagia Sophia

07 October 2022

China Alami Krisis Ekonomi, Berimbas ke Indonesia?

Foto: Shutterstock

Ekonomi terbesar ke-2 di dunia, China, tengah berada di jurang krisis. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari pandemi Covid-19 hingga geopolitik dunia.

Di sisi lain, Indonesia menjalin hubungan dagang yang cukup erat dengan negeri tirai bambu itu. Lalu, apakah kondisi ini bisa menular ke RI?

Direktur Center of Economic and Law Studies CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan penularan tersebut bisa saja terjadi, apalagi kalau berbicara mengenai hubungan dagang antara RI dengan China yang cukup erat.

"Bisa jalur transmisinya lebih cepat," kata Bhima kepada detikcom, Kamis (06/10/2022).

Berbeda dengan krisis besar yang juga tengah melanda Inggris. Menurutnya, Inggris tidak akan terlalu berpengaruh terhadap RI. Apalagi, sejak Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa, para pelaku usaha di Indonesia mengurangi hubungan mitra dagang dengan negara tersebut.

"Sudah sejak Brexit ya banyak pelaku usaha di Indonesia mencium gelagat bahwa Inggris menjadi salah satu negara yang kurang menarik sebagai mitra dagang utama. Terlebih juga sedang ada krisis energi akibat perang dari Ukraina, itu yang memang sudah diantisipasi sejak lama dan porsi perdagangan Indonesia dengan Inggris relatif lebih kecil. Sehingga dampak jauh di bawah Cina," katanya.

China sendiri, lanjut Bhima, memiliki porsi 30% sebagai asal impor dan 20% sebagai tujuan ekspor utama produk-produk dari Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, perlu diperhatikan dampak turunan resesi ekonomi yang mengancam negara itu.

Ia pun menyoroti pabrik-pabrik mobil listrik yang ada di China. Tekanan daya beli konsumen berpotensi membuat produksinya menurun, sehingga mengurangi pembelian bahan baku olahan nikel dari Indonesia.

"Itu bisa menyebabkan penurunan tajam penerimaan ekspor Indonesia, surplus perdagangan bisa berubah menjadi defisit perdagangan," ujarnya.

Kemudian, kondisi berlanjut ke arah keuangan RI dalam pelemahan nilai tukar rupiah. Menurut Bhima, secara logis para investor akan menunda dulu realisasi investasinya dan mengalihkan ke aset yang jauh lebih aman, menyesuaikan situasi di negara asalnya.

Demikian pula dengan impor. Ia mengatakan, khususnya pada industri perakitan otomotif, elektronik, serta proyek konstruksi yang banyak menggunakan bahan baku dari negeri tirai bambu itu.

"Harga di dalam negeri akan lebih meningkat, sementara dari sisi konsumen tentu belum siap maka yang terjadi adalah penurunan penjualan. Opsi kedua, pelaku usaha masih menahan harga tapi kualitas barangnya akan diturunkan," katanya.

Oleh karena itu, kenaikan suku bunga kemungkinan terjadi kembali. Begitu pula dengan pelemahan nilai tukar rupiah akibat imported inflation atau inflasi yang didorong naiknya biaya impor. Menurut Bhima, RI seolah merasakan gejala resesi ekonomi dari negara-negara mitra dagang utamanya.

"Sudah mulai terasa satu minggu terakhir terjadi fluktuasi nilai tukar Rupiah yang cukup signifikan. kemudian selain itu juga terjadi kenaikan suku bunga yang cukup agresif yang dilakukan oleh bank sentral. Makanya sudah mulai terasa dari inflasi. Data terakhir kan hampir mencapai 6%, merupakan angka tertinggi sejak 2014," katanya.

Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, dibandingkan dengan krisis di Inggris, kondisi di China dampaknya akan lebih besar ke RI.

"China kan nomor satu ya, mitra dagang kita nomor satu, negara tujuan ekspor nomor satu, negara asal impor nomor satu, investasi juga sudah masuk 2-3 top three di Indonesia. Sehingga kondisi di China, apalagi diprediksikan tahun ini oleh World Bank jauh melambat sampai 2,8%. Ini artinya, pertumbuhan ekonomi terendah dalam beberapa dekade terakhir," kata Faisal.

Di sisi lain, ia optimis RI masih lebih resilient dibanding dengan negara-negara terdampak lainnya karena beberapa alasan. Yang pertama ialah kondisi Ri yang ditunjang oleh pasar domestik yang besar. Apabila pasar masih berjalan baik, menurutnya, pengaruh ekonomi global masih bisa diredam.

Berbeda dengan negara-negara Asia Tenggara yang pasar domestiknya kecil seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Apalagi negara-negara kecil yang memang ekonomi di didorong oleh ekonomi global misalnya Singapura dan Hongkong.

Lebih lanjut, Faisal juga menyoroti kondisi integrasi atau keterkaitan ekonomi RI dengan ekonomi eksternal yang menurutnya terbilang kecil.

"Walaupun sudah makin lama makin tinggi, tapi kalau dibandingkan negara lain, relatif lebih kecil. Dibandingkan Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam. Kita lebih lebih bersih keterkaitan dengan ekonomi globalnya, termasuk dengan China. Jadi ini yang membuat kita relatif lebih resilient yang dibandingkan negara lain," tambahnya.

Sebagai tambahan informasi, China termasuk ke dalam mitra dagang utama RI. Tercatat dalam data Badan Pusat Statistik per Agustus 2022, nilai impor Indonesia dari China mencapai US$ 6,596 triliun atau setara Rp 100,26 ribu triliun (kurs Rp 15.200). Jumlah ini mencakup hampir 1/3 total nilai impor RI.

Sementara, untuk nilai ekspor RI per bulan yang sama ke China, mencapai US$ 6,398 triliun atau setara Rp 97,25 ribu triliun, yang juga mencapai hampir 1/4 total nilai ekspor RI pada bulan tersebut.

Tidak hanya itu, dalam catatan detikcom pada April lalu, China menduduki posisi ke-3 untuk nilai investasi asing terbesar, dengan nominal mencapai US$ 1,4 miliar atau setara Rp 21,28 triliun. Posisinya ini persis di bawah Hong Kong yang berada di urutan ke-2, dan Singapura di posisi ke-1.






















Artikel ini telah tayang di finance.detik.com dengan judul "Ekonomi China Lagi Sakit Parah, Waspada RI Bisa Ketularan!"