Virus Corona COVID-19 (Foto: Rifkianto Nugroho) |
Kurangnya vaksin dan terbatasnya tes diagnostik di masa pandemi COVID-19 membuat pandemic fund dinilai penting. Dana pandemi yang dikumpulkan sukarela dari sejumlah negara diharapkan mampu membantu negara dengan ekonomi menengah ke bawah.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Maxi Rein Rondonuwu, apa yang terjadi pada COVID-19 menunjukkan minim investasi banyak negara terkait kesehatan, khususnya persiapan pandemi berikutnya. Efeknya menjadi begitu besar lantaran krisis ekonomi menyusul, tidak hanya kesehatan.
"Oleh karenanya penting merancang kembali arsitektur global, dari COVID-19 kita ketahui ada kebutuhan pendanaan yang andal dan berkelanjutan, PPR (prevention, and response) WHO dan Bank Dunia memperkirakan akan ada kesenjangan PPR sekitar 10 miliar dolar, mengisi kesenjangan ini nggak mudah makanya ciptain mekanisme pendanaan," terang dr Maxi dalam G20 Side Event 'Redesigning Pandemi Prevention, Preparedness, and Response: Lessons Learned and New Approaches', di Hotel Conrad Bali, Senin (14/11/2022).
Dalam kesempatan yang sama, Eloise Todd Executice Director & Co Founder Pandemic Action Network menyebut jika satu negara tidak mampu menangani wabah karena keterbatasan akses alat hingga vaksin, bakal berdampak pada negara lain lantaran pergerakan individu. Selama ini, hanya lima negara yang berinvestasi pada bantuan kesehatan termasuk Amerika Serikat hingga Jepang.
"Jadi juga ada beberapa poin dari pandemi ini, pertama kontribusi untuk upaya-upaya bantuan ini sebagian besar dari negara-negara kaya atau G7, kontribusi dana upaya penanggulangan datang dari lima negara saja," katanya.
"Kita berharap, jangan mengandalkan lima negara ini atau bagian G7 saja tapi seluruh dunia juga harus mulai berkontribusi, maka itu kita juga ingin mulai adanya dewan ancaman global, di mana semua pemimpin negara bisa bertemu dan membahas ancaman-ancaman global apa saja yang kita hadapi," sambung dia.
Menurutnya, keterlibatan semacam itu masih relatif rendah di Asia dan Afrika, terkecuali China dan India yang sudah banyak berkontribusi. Perlu lebih banyak negara berkontribusi.
"Karena kalau tidak, kita aman tapi negara A masih kena wabah dan penduduknya berkeliaran nantinya akan berbahaya bagi negara lainnya," terang dia.
Pandemi berikutnya disebut Eloise bisa diakibatkan perubahan iklim hingga keanekaragaman hayati yang terpengaruh, virus yang sebelumnya 'tersimpan' ribuan tahun, kemudian bisa muncul. Pendekatan ideal mencegah hal tersebut adalah surveilans dan melindungi lingkungan dari perubahan iklim tidak terlalu parah.
Sayangnya, seperti yang terjadi pada varian Omicron saat pertama kali muncul di Afrika, 'penutupan akses' pada wilayah berisiko virus berbahaya malah berakhir menjadi hal yang merugikan negara tersebut. Di tengah pelaporan yang baik, dengan surveilans dan deteksi cepat, banyak yang akhirnya memilih 'diam-diam' demi menghindari mengalami risiko serupa.
"Bagaimana negara-negara yang menemukan kasus tidak dihukum, sehingga tidak takut untuk berbagi informasi. Contoh, saat Afrika menemukan varian Omicron, semua negara langsung membatasi dengan Afrika masuk ke negara, itu bikin takut yang memberikan informasi," katanya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Yang Tak Boleh Terulang di Pandemi Selanjutnya, Belajar dari COVID-19"