Ilustrasi warga China. (Foto: AP/Andy Wong) |
Konselor psikologis di China, Huang Jing, melihat permintaan layanan kesehatan mental meningkat pesat dalam beberapa waktu terakhir. Banyak warga China kelas menengah mencari konseling buntut dampak buruk pembatasan COVID-19 selama nyaris tiga tahun.
"Kami telah melihat perubahan besar di masyarakat, kekecewaan di kalangan generasi muda, dan, khususnya, segunung tekanan dari para orang tua untuk menghasilkan uang, menabung, [standar] pendidikan yang kaku, dan pandangan yang suram terhadap masa depan anak-anak mereka," kata Huang, dikutip dari SCMP, Rabu (8/5/2024).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 54 juta orang di China mengalami depresi dan 41 juta orang terkena gangguan kecemasan. Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas kesehatan juga telah melakukan upaya untuk mengatasi masalah ini.
Fenomena ini memotivasi masyarakat untuk mencari terapi psikologis dan swadaya dalam jumlah yang lebih besar, yang membuat lembaga konseling di sana meningkat sepuluh kali lipat dari tahun 2011 hingga 2020 menurut data dari Qcc.com. Jumlahnya melonjak lebih dari 60 persen bahkan pada 2022, mencapai 30.700
"Saya belajar psikologi pada tahun 2001 ketika pasar masih sangat kecil", kata Huang, yang pusat psikologinya membebankan biaya kepada klien sebesar 600 yuan per jam atau lebih.
"Karena [konseling psikologis] itu mahal, dan kelas pekerja biasa tidak mampu membelinya. Hanya orang kaya yang bisa."
Ia menambahkan, kepentingan klien tersebut sebagian besar bersifat pribadi atau kekeluargaan. "Mengatasi stres psikologis adalah kebutuhan mendesak mereka," katanya.
"Pelanggan kami sebagian besar berasal dari keluarga yang mengalami masalah perkawinan dan masalah dalam membesarkan anak dan pendidikan."
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan bisa menjadi penyebab banyak orang mencari konseling, kata Huang.
"Orang tua dari banyak remaja dibesarkan setelah China memulai reformasi dan keterbukaan pada tahun 1980an, berada di puncak ledakan ekonomi dan memiliki harapan besar bahwa anak-anak mereka akan meniru kesuksesan mereka," katanya.
"[Mereka] sangat menolak gagasan [anak-anak mereka bisa] gagal mencapai potensi penuh mereka di sekolah atau tidak mendapatkan pekerjaan yang ideal."
Pakar industri konseling mengatakan dua tahun ke depan mungkin merupakan periode puncak kegelisahan di kalangan keluarga China, dengan adanya pesimisme yang belum pernah terlihat sebelumnya mengenai karier dan pendapatan di tengah perekonomian yang sulit pasca pandemi. Hal ini dinilai mendorong ekspansi industri konseling.
Kecemasan, perasaan tidak berarti, dan depresi adalah masalah psikologis yang paling sering dilaporkan masyarakat China tahun lalu, menurut laporan kesehatan mental yang menampilkan hasil survei terhadap 40.000 orang.
Pengeluaran tahunan untuk konseling selama tiga tahun terakhir rata-rata 6.500 yuan atau sekitar 14 juta rupiah per orang, dan 90 persen klien memiliki gelar sarjana atau lebih tinggi, kata populasi survei.
Kelompok ini disurvei sebagai bagian dari Laporan Wawasan Populasi Industri dan Kesehatan Mental 2023-2024, yang dirilis bersama oleh Jiandanxinli.com, sebuah platform yang menghubungkan terapis dengan klien dan pusat data.
Meningkatnya jumlah klien potensial juga membangkitkan minat terhadap terapi sebagai karier di antara mereka yang memasuki pasar kerja. Menurut mereka yang disurvei, lebih banyak orang berusia 30 hingga 40 tahun yang mempertimbangkan untuk memasuki profesi ini, dengan lebih dari 30 persen konselor pemula berusia 20 hingga 29 tahun dan 51,6 persen berusia 30 hingga 39 tahun.
Bagi industri lain, hal ini patut dirayakan, China telah menjadikan perusahaan swasta sebagai prioritas dalam mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan, namun permintaan yang lebih tinggi terhadap layanan kesehatan mental membawa implikasi lain yang lebih meresahkan.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Makin Banyak Warga Stres di China, Ternyata Ini yang Terjadi"