Hagia Sophia

04 December 2025

Frekuensi BAB Bisa Tingkatkan Risiko Penyakit Ginjal dan Liver

Ilustrasi. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Rawf8)

Frekuensi buang air besar (BAB) rupanya dapat memengaruhi kondisi kesehatan secara keseluruhan. Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2024 meneliti kaitan frekuensi buang air besar dan kondisi kesehatan.

Penelitian ini melibatkan 1.425 responden sehat. Peserta paling sehat melaporkan buang air besar sekali atau dua kali sehari, yang dianggap frekuensi paling pas. Kondisi ini disebut dengan 'zona goldilocks'.

Menurut ilmuwan Institute for Systems Biology (ISB), terlalu sering atau terlalu jarang buang air besar sama-sama berkaitan dengan adanya masalah kesehatan pencernaan.

"Studi ini menunjukkan bagaimana frekuensi buang air besar dapat memengaruhi seluruh sistem tubuh, dan bagaimana frekuensi BAB yang tidak normal bisa menjadi faktor risiko penting dalam perkembangan penyakit kronis," kata ahli mikrobiologi ISB Sean Gibbons, dikutip dari Science Alert, Minggu (30/11/2025).

Hasil penelitian mengelompokkan frekuensi buang air besar menjadi beberapa kelompok:
  • Konstipasi: 1-2 kali per minggu
  • Normal-rendah: 3-6 kali per minggu
  • Normal-tinggi: 1-3 kali per hari
  • Diare: 4 kali atau lebih BAB cair dalam sehari
Peneliti lalu juga menganalisis metabolit darah, kimia darah, data genetik, serta mikroba usus dalam sampel tinja peserta. Mereka kemudian mencari keterkaitan antara frekuensi BAB dengan penanda kesehatan tersebut, termasuk faktor usia dan jenis kelamin.

Mereka yang melaporkan BAB lebih jarang cenderung perempuan, lebih muda, dan memiliki indeks massa tubuh lebih rendah. Namun, setelah faktor-faktor ini diperhitungkan, kelompok dengan konstipasi maupun diare tetap menunjukkan keterkaitan yang jelas dengan masalah kesehatan tertentu.

Bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan bagian atas lebih sering muncul pada sampel tinja peserta dengan diare. Sementara itu, sampel darah mereka menunjukkan biomarker yang terkait dengan kerusakan hati atau liver.

Sementara itu, sampel tinja dari orang yang BAB-nya jarang memiliki kadar lebih tinggi bakteri yang terkait fermentasi protein, sesuatu yang memang kerap terjadi pada kasus konstipasi.

"Jika feses terlalu lama berada di usus, mikroba akan menghabiskan seluruh serat makanan yang tersedia, yang biasanya mereka fermentasi menjadi asam lemak rantai pendek yang bermanfaat," kata Johannes Johnson-Martinez, insinyur biologi di ISB.

"Setelah itu, ekosistem usus beralih memfermentasi protein, yang menghasilkan berbagai racun yang bisa masuk ke aliran darah," sambungnya.

Benar saja, beberapa produk sampingan tersebut ditemukan dalam sampel darah para pasien. Yang paling meningkat adalah metabolit bernama indoxyl-sulfate, produk fermentasi protein yang diketahui dapat merusak ginjal.

























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Hati-hati! Frekuensi BAB Seperti Ini Bisa Meningkatkan Risiko Penyakit Ginjal-Liver"