Penjual jamu gendong di Jakarta (Foto: Rengga Sancaya) |
Bicara tentang obat tradisional, kerap terdengar berbagai istilah seperti jamu dan fitofarmaka. Kerap pula muncul anggapan bahwa fitofarmaka lebih berkhasiat dibandingkan jamu. Benarkah demikian?
Penggolongan obat tradisional sebenarnya termuat dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Nomor HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Di dalamnya, terdapat 3 kategori obat tradisional yakni jamu, herba terstandar, dan fitofarmaka.
Menurut ketentuan tersebut, ketiga kategori obat tradisional tersebut pada dasarnya sama-sama berkhasiat. Bedanya, jamu hanya mensyaratkan pembuktian berdasarkan pengalaman empiris. Herba terstandar lebih ketat, khasiatnya harus dibuktikan dulu melalui uji preklinis pada hewan, sedangkan fitofarmaka lebih ketat lagi yakni sudah melalui uji klinis pada manusia.
Molecular Pharmacologist Prof Raymond Tjandrawinata mengatakan fitofarmak berbeda dengan jamu. Berdasarkan ketentuan di atas, jamu tidak membutuhkan uji ilmiah sedangkan sementara fitofarmaka harus melewati proses lebih panjang hingga uji klinis.
"Jadi kalau jamu itu secara empiris artinya secara pengalaman dan turun temurun dipercayai dia bisa mempunyai efek untuk memperbaiki problem di dalam tubuh," jelas prof Raymond saat ditemui detikcom di ICE BSD, Tangerang, Jumat (4/11/2022).
"Jadi makanya disebut sebagai promotif dan preventif, ya itu jamu," tambahnya.
Ia juga menjelaskan salah satu contoh pengobatan dari fitofarmaka salah satunya dengan memanfaatkan cacing tanah sebagai bahan baku.
"Ada produk cacing tanah, tapi kenapa bisa digunakan untuk pasien stroke, pasien serangan jantung. Bukan semua cacing tanah dimasukkan ya, tapi diambil fraksinya," jelasnya.
Efek Samping Obat Tradisional
Sekalipun sudah melalui uji klinis, fitofarmaka juga tetap bisa memiliki efek samping. Namun, efek samping yang dihasilkan umumnya sangat kecil.
"Ada pasti ada, tapi minor. Tidak ada obat herbal yang aman, tidak ada, saya yakin," beber prof Raymond.
"Misalnya apa ada pasien yang mengalami pruritus, gatal-gatal. Tapi kalo kita liat dari uji klinik, paljng banyak cuma 2 persen dari pasien. Caranya gimana ngilangin, kalo dia gatelan, berhentiin satu dua hari (konsumsi fitofarmaka)," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Sama-sama Berkhasiat, Apa Bedanya Jamu dan Fitofarmaka? Ini Kata Profesor Farmakologi"