istimewa |
Efek dari angka kelahiran rendah di Hongkong kian nyata. Pada periode Mei, lima sekolah dasar (SD) nihil pendaftaran siswa atau murid hingga terancam tutup.
Guru, alumni, dan orang tua murid saat ini melakukan seruan emosional, menandatangani petisi, dan melobi anggota dewan distrik serta anggota parlemen dengan harapan dapat menyelamatkan keberlangsungan sekolah.
Keputusan untuk menutup sekolah juga dipicu karena hanya 56.500 bayi yang lahir pada tahun 2017 dan mereka memulai periode sekolah dasar kelas satu di September.
Hong Kong memiliki lebih banyak sekolah daripada yang dibutuhkan. Sayangnya, jumlah bayi yang lahir turun berturut-turut selama lima tahun sejak 2018, mencetak rekor terendah. Hanya 32.500 bayi yang lahir tahun lalu.
Beberapa pre-school dan taman kanak-kanak sudah ditutup. Setelah sekolah dasar, sekolah menengah juga disebut bakal terkena imbasnya, ratusan guru otomatis diberhentikan dan kehilangan pekerjaan.
"Krisis yang kita hadapi hari ini tidak terjadi begitu saja," kata Paul Yip Siu-fai, ketua profesor kesehatan populasi di departemen pekerjaan sosial dan administrasi Universitas Hong Kong.
"Kami melihat trennya sejak 2018, tetapi kami gagal melakukan antisipasinya, bersiaplah untuk itu."
Banyak wanita muda dan pasangan baru menikah tidak hanya menunda memiliki bayi, beberapa dari mereka bahkan tidak menginginkannya sama sekali.
"Generasi muda tidak lagi membeli konsep membawa nama keluarga," kata Yip, yang telah melacak angka kelahiran Hong Kong selama beberapa dekade.
"Mereka melihat diri mereka 'tanpa anak' dengan cara yang positif. Itu memang menandakan lebih banyak masalah di depan," terang dia.
Dikutip dari Channel News Asia, seorang manajer pemasaran berusia 34 tahun Ah Ying, sudah menikah tiga tahun lalu. Suaminya terbuka untuk memiliki anak, tetapi tidak dengan dirinya.
Dia tidak memiliki rencana tersebut sejak terjadinya kerusuhan sosial di 2019, saat Beijing memperketat cengkeramannya melalui undang-undang keamanan nasional dan perombakan sistem pemilu untuk memastikan hanya 'patriot' yang memerintah kota.
Dengan sekolah yang menekankan patriotisme, dia khawatir anak-anaknya bakal 'dicuci otak'.
Namun dia juga terhambat oleh biaya membesarkan anak dan budaya kota yang kompetitif, bahkan dimulai dari tingkat balita.
"Anak-anak zaman sekarang diharapkan belajar banyak hal, mengikuti banyak kursus, dan menjalani wawancara (untuk masuk ke sekolah yang bagus)," katanya.
"Ini bukan hanya tentang tekanan emosional, tetapi juga beban keuangan. Jika saya tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak saya, mungkin saya tidak boleh melahirkan sama sekali."
Dia dan suaminya mengadopsi seekor kucing tahun lalu dan menganggapnya sebagai anggota keluarga. Mereka berhenti berbicara tentang menginginkan bayi.
Perubahan budaya ini seperti yang dialami Ah Ying juga disebut terlihat dari data pemerintah. Sekitar tiga dari empat wanita Hong Kong yang lahir pada 1951 setidaknya memiliki satu anak sebelum mencapai usia 30 tahun. Sementara untuk wanita yang lahir pada 1991, hanya satu dari empat wanita yang memiliki anak pada usia 30 tahunan.
Menurut laporan United Nations Population Fund bulan lalu, Hong Kong juga bernasib paling buruk untuk tingkat kesuburan total atau TFR, jumlah anak yang diharapkan dimiliki seorang wanita seumur hidupnya.
Skor Hong Kong 0,8 adalah yang terendah di dunia, diikuti oleh Korea Selatan pada 0,9, Singapura pada 1,0 dan Jepang pada 1,3. Sementara TFR idealnya berada di angka 2,1 agar populasi produktif relatif terjaga.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Hong Kong Dihantam Krisis Populasi, Warga: Tak Butuh Bayi, Kami Punya Kucing"