Hagia Sophia

01 April 2024

Tingkat Kesuburan Dunia Diperkirakan Akan Menurun, Inikah Penyebabnya?

Ilustrasi krisis populasi (Foto: Getty Images/JUNG YEON-JE)

Angka kesuburan di dunial diprediksi bakal menurun drastis dan mengakibatkan pergeseran demografi yang besar. Kelahiran bayi akan terus terjadi di negara-negara berpendapatan rendah, sementara kelahiran bayi di negara-negara maju akan terus menyusut.

Hal ini terungkap dalam studi Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Universitas Washington, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Lancet, Maret 2024. Penelitian ini menyajikan pembaruan dari studi Global Burden of Disease, Injuries, and Risk Factors Study (GBD) 2021. Studi tersebut menghitung angka kesuburan dari rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama hidupnya.

"Dunia yang terpecah secara demografis ini akan mempunyai konsekuensi yang sangat besar bagi perekonomian dan masyarakat," menurut peneliti studi tersebut yang diterbitkan dalam The Lancet.

Secara umum, suatu negara perlu memiliki angka kesuburan total (Total Fertility Rate /TFR) sebesar 2,1 anak per wanita yang dapat melahirkan untuk mempertahankan pergantian generasi dalam populasi untuk jangka panjang. TFR suatu populasi adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang wanita sepanjang hidupnya, dengan asumsi tingkat kesuburan saat ini selama tahun-tahun reproduksinya.

Di sisi lain, sejak tahun 1950, angka kesuburan mengalami penurunan dan akan terus berlangsung hingga masa depan. Pada tahun 1950, tingkat kesuburan total secara global adalah 4,84 anak per wanita yang dapat melahirkan, kemudian menjadi 2,23 pada tahun 2021. Angka ini diprediksi akan terus menurun menjadi 1,83 pada tahun 2050 dan merosot menjadi 1,59 pada tahun 2100.

Peneliti memperkirakan pada tahun 2050, akan ada 155 dari 204 atau sekitar 76 persen negara dengan tingkat kesuburan di bawah rata-rata. Angka ini akan terus meningkat hingga 97 persen atau 198 dari 204 negara pada 2100 yang mengalami penurunan tingkat kesuburan pada populasinya.

Meski begitu, tingkat kesuburan masih akan meningkat hampir dua kali lipat dari 18 persen pada tahun 2021, menjadi 35 persen pada tahun 2100. Enam negara di kawasan Afrika Sub-Sahara, yakni Samoa, Somalia, Tonga, Nigeria, Chad, dan Tajikistan, misalnya, akan menyumbang satu dari setiap dua anak yang lahir di bumi pada tahun 2100.

Semakin banyak kelahiran hidup di negara-negara berpendapatan rendah akan mengancam keamanan pangan, air, dan sumber daya lainnya. Ancaman lain adalah akan mempersulit upaya memperbaiki angka kematian anak.

Di samping itu, ketidakstabilan politik dan masalah keamanan juga mungkin timbul di wilayah-wilayah tersebut. Akses yang lebih baik terhadap kontrasepsi dan pendidikan perempuan bisa membantu mengontrol angka kelahiran ini.

"Tantangan besar bagi negara-negara di Afrika Sub-Sahara dengan tingkat kesuburan tertinggi adalah mengelola risiko yang terkait dengan meningkatnya pertumbuhan populasi atau risiko potensi bencana kemanusiaan," ucap asisten profesor dari IHME, Austin E Schumacher.

Sementara di mayoritas negara Eropa, tingkat kesuburan akan menjadi 1,37 pada 2100. Untuk Israel, Eslandia, Denmark, Perancis, dan Jerman diperkirakan masih tinggi, berkisar 1,40-2,09, pada akhir abad ini. Artinya, populasi mereka akan menyusut dan menua, lalu membebani program jaminan sosial dan infrastruktur layanan kesehatan serta kekurangan tenaga kerja.

Merosotnya populasi ini bisa diimbangi dengan sejumlah kebijakan, seperti migrasi yang etis dan efektif. Upaya lain adalah memaksimalkan pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan serta memberikan dukungan yang lebih besar kepada orangtua.

Apa pemicunya?

Ada banyak alasan yang mendasari perubahan ini, termasuk peningkatan kesempatan bagi perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan serta akses yang lebih baik terhadap layanan kontrasepsi dan kesehatan reproduksi.

"Dalam banyak hal, penurunan tingkat kesuburan merupakan sebuah kisah sukses, yang mencerminkan tidak hanya kontrasepsi yang lebih baik dan mudah didapat, namun juga banyaknya perempuan yang memilih untuk menunda atau memiliki lebih sedikit anak, serta lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan," lanjut Vollset.

Pergeseran Demografis

Temuan studi ini diperkirakan akan mengakibatkan pergeseran demografis yang membuat kesenjangan antar negara yang mengalami ledakan kelahiran dan penurunan kelahiran. Negara-negara kaya berjuang mempertahankan pertumbuhan ekonomi mereka, sedangkan negara-negara miskin tetap bergulat menghidupi populasi mereka yang terus bertambah.

"Dunia akan secara bersamaan menghadapi baby boom di beberapa negara dan baby bust di negara lain. Ini akan membuat kita menghadapi perubahan sosial yang mengejutkan sepanjang abad ke-21," kata Vollset.

Pemerintah setiap negara harus mengantisipasi hal ini dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim, meningkatkan infrastruktur layanan kesehatan, dan terus mengurangi angka kematian anak, di samping tindakan untuk menghilangkan kemiskinan ekstrem dan menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Keluarga berencana dan pendidikan bagi anak perempuan harus menjadi prioritas utama setiap negara.

Meski demikian, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melihat temuan penelitian ini sebagai acuan yang bisa diambil setiap negara untuk menyeimbangkan populasi mereka. Populasi yang lebih kecil akan bermanfaat baik, misalnya pada lingkungan dan ketahanan pangan, tetapi berdampak buruk bagi perekonomian dan geopolitik.

"Negara-negara tidak boleh menerapkan kebijakan prokelahiran sebagai reaksi terhadap proyeksi ini dan menyatakan bahwa penurunan kesuburan tidak boleh digunakan untuk membatasi akses terhadap kontrasepsi atau aborsi," kata Gitau Mburu, pakar kesuburan di WHO.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Angka Kesuburan Dunia Diprediksi Bakal Turun Drastis, Apa Pemicunya?"