Hagia Sophia

23 June 2023

Terkait Kekawatiran 'Data Genomilk' Dijual ke Asing, Ini Kata Kemenkes

Ilustrasi dokter. (Foto: Getty Images/iStockphoto/aetb)

Gaduh pro-kontra RUU Kesehatan belakangan juga dikaitkan dengan dugaan upaya pemerintah 'menjual' data genomik ke negara asing, lewat teknologi terbaru. Privasi pasien dikhawatirkan lantaran data tersebut menunjukkan detail kondisi kesehatan masing-masing orang.

Direktur Jenderal Farmasi dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalusia menyebut, pemanfaatan data genomik yang difokuskan pemerintah melalui teknologi, sebetulnya mirip dengan pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) yang selama ini dilakukan di masa pandemi. WGS dipakai untuk melihat varian COVID-19 atau jenis spesifik virus yang menyerang manusia.

"Sementara ini adalah teknologi terbaru yang dapat membaca informasi genetik manusia, sehingga kita bisa tahu pasti sakit apa, di mana sakitnya, siapa yang sakit. Dengan demikian pencegahan pengobatannya pun nanti akan cepat dan tepat," kata Dirjen Rizka di Jakarta, Kamis (22/6).

Terkait keamanan data, setiap sequencing dipastikan dilakukan di Indonesia, tidak ada satupun sampel yang dikirim ke luar negeri. Begitu pula dengan pemeriksaan hasil sequencing.

"Analisis data dilakukan di Indonesia, untuk penyimpanan data, Kemenkes juga bekerja sama dengan BSSN," terang dr Rizka.

Teknologi yang dirilis dengan nama Biomedical and Genome Science Initiative (BGSi), bisa diakses di 9 rumah sakit yakni RSUPN Cipto Mangunkusumo untuk penyakit metabolik terutama diabetes, RS Dharmais untuk penyakit kanker, RS Pusat Otak Nasional untuk penyakit stroke, RSPI Sulianti Saroso untuk penyakit menular Tuberkulosis, RSUP Persahabatan untuk penyakit menular TB, RS Ngoerah untuk wellness and beauty, RS Sardjito untuk penyakit genetik/penyakit langka, RSJPD Harapan Kita untuk penyakit jantung, serta RSAB Harapan Kita untuk kesehatan ibu dan anak.

"Seluruhnya telah dilengkapi dengan mesin-mesin sequencing yang mampu memproses ratusan sampel setiap minggu," bebernya.

Apa Kelebihannya?

Dalam kasus tuberkulosis misalnya, per tahun 2022 ada 824 ribu orang di Indonesia yang mengidap TBC, sekitar 93 ribu orang meninggal setiap tahun. Kasus TBC resisten obat juga mengalami peningkatan.

"Kuman tuberkulosis yang beredar di Indonesia ini mulai resisten terhadap antibiotik yang ada sehingga dokter perlu tahu, pasien ini cocoknya obat apa, kombinasi obatnya yang mana. Kalau resisten obat, kan harus menumbuhkan kuman TBC di laboratorium, dan di Indonesia laboratorium yang bisa melakukan penumbuhan kuman itu sangat terbatas, tidak semua lab yang bisa, hanya 12 yang bisa," ujar Dirjen Rizka.

Dengan keterbatasan jumlah laboratorium, pengobatan pasien memakan waktu lebih lama. Karenanya, bila daerah tempat tinggal pasien tidak memiliki lab, sampel harus dikirim ke daerah lain. Sementara ketersediaan WGS bisa memangkas waktu tersebut lebih cepat, dan otomatis pengobatan bisa segera diberikan.

"Sekarang dengan menggunakan pendekatan pemeriksaan ini kita bisa memutus rantai yang tadinya membutuhkan waktu 4 minggu, dalam waktu 1 hari bisa dapat informasi bahwa kumannya itu punya kemungkinan resisten terhadap obat TBC yang ada," terang Dirjen Rizka.
























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Gaduh 'Data Genomik' Warga RI Bakal Dijual ke Asing, Ini Penegasan Kemenkes RI"