Foto: AP Photo/Koji Sasahara |
Jepang masih menghadapi masalah krisis populasi yang cukup mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, meski sudah mengeluarkan banyak kebijakan agar warganya menikah dan punya anak, tingkat kelahiran di negara itu jeblok di level terendah sepanjang masa.
Di 2023, Jepang hanya mencatat 758.631 kelahiran, terendah dalam 90 tahun terakhir. Kondisi ini membuat Negeri Sakura itu masuk ke level krisis.
"Penurunan angka kelahiran berada dalam situasi kritis," kata Kepala Sekretaris Kabinet Yoshimasa Hayashi dikutip dari Reuters.
Mengingat potensi dampak sosial dan ekonomi, serta tekanan terhadap keuangan publik, Perdana Menteri Fumio Kishida menyebut tren ini sebagai krisis paling parah yang dihadapi Jepang. Pemerintahannya pun meluncurkan serangkaian langkah untuk mendukung rumah tangga yang memiliki anak pada akhir tahun lalu.
Krisis populasi di Jepang juga diperparah dengan semakin banyaknya usia lansia. Di sisi lain, jumlah kematian mencapai rekor 1.590.503, naik selama tiga tahun berturut-turut.
Jumlah perkawinan turun
Dikutip dari The Japan Times, pada tahun 2023, jumlah pernikahan turun sekitar 30.000 dibandingkan tahun sebelumnya ke angka terendah pascaperang yaitu 489.281.
"Orang-orang cenderung menikah dan melahirkan di usia yang lebih tua, dan selain itu, virus corona mungkin juga berdampak pada pernikahan dan kelahiran," kata seorang pejabat Kementerian Kesehatan.
Dalam survei yang dilakukan The National Institute of Population and Social Security Tokyo, sekitar 17,3 persen pria dan 14,69 wanita tak memiliki hasrat berkeluarga. Menurunnya jumlah perkawinan mempunyai konsekuensi terhadap angka kelahiran di Jepang karena negara tersebut menghadapi kemungkinan depopulasi yang dramatis serta menyusutnya angkatan kerja dan perekonomian.
Pasutri 'Sexless'
Survei terbaru di Jepang menemukan bahwa lebih dari 68 persen pasutri di negara tersebut tidak melakukan kontak seksual. Hal ini menggarisbawahi permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam upaya mengatasi penurunan populasi.
Dikutip dari Nippon, layanan survei Raison d'Etre, yang berbasis di Shinjuku Tokyo, meneliti 4.000 orang menikah berusia dua puluhan, tiga puluhan, empat puluhan, dan lima puluhan. Hasil survei menunjukkan bahwa 43,9 persen responden melakukan pernikahan "tanpa hubungan seks" dan 24,3% melakukan pernikahan "hampir tanpa seks".
Asosiasi Keluarga Berencana Jepang (JFPA), menemukan alasan-alasan mengapa pasangan di Jepang enggan berhubungan seks meski sudah menikah. Dalam riset yang dilakukan pada tahun 2004, 22,3 persen wanita di seluruh Jepang tidak melakukan hubungan seks dengan alasan hal tersebut "mengganggu", sementara lebih dari 20 persen wanita tidak ingin melakukan kontak fisik dengan suami setelah melahirkan.
Sebanyak 17,4 persen lainnya mengatakan mereka terlalu lelah bekerja, sementara 8,2 persen tidak lagi menganggap suami mereka sebagai pasangan seksual, melainkan sebagai 'keluarga'. Alasan lain yang diberikan perempuan adalah hamil atau tidak tertarik.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Krisis Populasi Jepang: Warga Ogah Kawin, Pasutri Sexless, Bayi Makin Minim"