Korea dibikin pusing krisis populasi, wanita mulai menganggap pernikahan tidak penting. (Foto ilustrasi: Chris Jung/NurPhoto/Getty Images) |
Sebuah survei di Korea Selatan yang dilakukan baru-baru ini menggambarkan 'anjloknya' angka kesuburan di sana. Dari survei, hanya ada empat persen wanita berusia 20-an hingga 30-an yang masih ingin menikah dan memiliki anak.
Dikutip dari Korea Times, survei tersebut dilakukan oleh seorang profesor kesejahteraan sosial di Seoul National University, Park Jeong-min, dan dipublikasi di Korean Journal of Social Welfare Studies. Survei ini melibatkan 281 pria dan wanita lajang berusia antara 20 dan 40 tentang pemikiran mereka tentang pernikahan dan persalinan.
Dari survei, hanya empat persen wanita yang menganggap perkawinan dan persalinan adalah bagian yang penting bagi hidup seorang wanita. Sementara, ada sekitar 13 persen responden pria yang percaya hal itu.
"Hasil survei mengungkapkan lebih banyak tentang angka kelahiran yang terus menurun di Korea," tulis survei tersebut yang dikutip dari Korea Times, Senin (27/2/2023).
Menurut data statistik Korea terbaru, tingkat kesuburan total negara atau jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita seumur hidupnya turun menjadi 0,78 pada tahun lalu. Ini merupakan angka terendah sejak Korea Selatan mulai mengumpulkan data yang relevan pada tahun 1970-an.
Rata-rata, tingkat kesuburan total negara-negara anggota The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 1,59 pada tahun 2020. Korea adalah satu-satunya negara OECD dengan tingkat kesuburan lebih rendah dari satu.
Angka ini tidak menunjukkan tanda-tanda rebound, meskipun pemerintah telah berupaya mendorong pasangan untuk memiliki anak lebih banyak selama bertahun-tahun. Selama 16 tahun terakhir, Korea telah menghabiskan sekitar 280 triliun won atau sekitar 3.243 triliun rupiah untuk mengatasi penurunan tingkat kesuburan.
Pandangan dari Pakar
Pakar kebijakan kependudukan di Korea Development Institute, Choi Seul-ki, melihat kebijakan yang dilakukan pemerintah sebagai bumerang. Ia mengatakan mendorong kaum muda untuk menikah mungkin membuat mereka lebih skeptis tentang pernikahan.
"Bagi sebagian besar anak muda Korea, menikah dan memiliki anak sekarang dianggap sebagai pilihan, bukan norma sosial yang harus mereka ikuti," kata Choi Seul-ki.
"Daripada langsung mendesak mereka untuk menikah, pemerintah harus menciptakan lingkungan di mana pernikahan adalah hal yang menarik. pilihan bagi generasi muda," jelasnya dalam forum kebijakan demografi yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan.
Choi Seul-ki mendesak pemerintah untuk mengatasi faktor-faktor yang mendasari para kaum muda yang tidak mau menikah. Misalnya seperti tingkat pekerjaan yang suram, perumahan yang mahal, ketidaksetaraan sosial, dan sifat masyarakat yang sangat kompetitif.
Menurut para peneliti, beberapa tindakan segera yang harus dilakukan pemerintah dalam jangka panjang, yakni:
Mengakhiri diskriminasi hukum terhadap anak-anak yang lahir di luar nikah atau dari keluarga non-tradisional
Memastikan tingkat migrasi ke dalam berbasis perkawinan yang tinggi dipertahankan
Mengakui bahwa perubahan tingkat kesuburan dalam waktu dekat tidak mungkin terjadi
Memulai penyesuaian struktural untuk mengurangi jumlah lembaga pendidikan dan pengasuhan anak usia dini di Korea
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Korea Makin Pusing Krisis Populasi, Warga Mulai Anggap Menikah Tak Penting"