Foto: AFP via Getty Images/SANJAY KANOJIA |
Belakangan beberapa negara, termasuk Indonesia dilanda dengan cuaca yang sangat panas. Sebuah studi baru yang dituliskan dalam jurnal Nature Communications mengungkapkan bahwa gelombang panas yang memecahkan rekor akan meningkat seiring meningkatnya krisis iklim.
Para ilmuwan menganalisis kumpulan data suhu selama lebih dari 60 tahun dan model iklim, untuk menghitung kemungkinan terjadinya panas ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mereka mengidentifikasi Afghanistan, Papua Nugini, dan Amerika Tengah, termasuk Guatemala, Honduras, dan Nikaragua, sebagai wilayah hot spot untuk gelombang panas berisiko tinggi. Daerah-daerah ini sangat rentan karena populasinya yang tumbuh cepat dan terbatasnya akses perawatan kesehatan dan pasokan energi, yang merusak ketahanan mereka terhadap suhu ekstrem.
"Ada bukti di sana bahwa daerah-daerah itu mungkin akan mengalami gelombang panas yang besar dan mereka tidak siap untuk itu," kata Dann Mitchell, seorang profesor ilmu atmosfer di University of Bristol di Inggris dan rekan penulis studi, dikutip dari CNN.
"Ancaman yang dihadapi Afghanistan sangat mencolok. Tidak hanya ada potensi tinggi untuk memecahkan rekor panas ekstrem, tetapi dampaknya akan semakin meningkat dengan kesulitan besar yang sudah dihadapi negara ini, "lanjutnya lagi.
Gelombang panas memiliki dampak negatif yang luas. Kondisi ini dapat mengurangi kualitas udara, memperburuk kekeringan, meningkatkan risiko kebakaran hutan, dan dapat menyebabkan infrastruktur rusak.
Fenomena ini juga sangat merugikan kesehatan manusia, dan panas ekstrem adalah salah satu bencana alam paling mematikan. Serangan panas atau kelelahan karena panas dapat memicu berbagai gejala berbahaya, antara lain sakit kepala, pusing, mual, dan kehilangan kesadaran.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), Heat stroke adalah penyakit terkait panas yang paling serius, menyebabkan suhu tubuh meroket dalam hitungan menit, dan dapat menyebabkan cacat permanen atau kematian.
Beberapa daerah telah mengalami suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya tahun 2023. Pada bulan Maret, sebagian Argentina bergulat dengan suhu hingga 10 derajat Celcius, atau 18 derajat Fahrenheit, di atas normal, sementara rekor suhu tinggi dipecahkan di sebagian besar Asia pada bulan April.
Di Lytton, British Columbia, Kanada, suhu memuncak di bawah 50 derajat Celcius pada Juni 2021, memecahkan rekor sebelumnya hampir 5 derajat lebih tinggi. Desa itu hampir hancur total oleh kebakaran hutan hanya beberapa hari kemudian.
Beberapa bagian China, termasuk Beijing, dan negara-negara Eropa, seperti Jerman dan Belgia, juga menghadapi risiko tinggi, menurut laporan tersebut.
Laporan tersebut juga menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk bersiap menghadapi peristiwa panas yang jauh melampaui rekor suhu saat ini, seperti menyiapkan pusat pendingin dan mengurangi jam kerja bagi mereka yang bekerja di luar.
Ada banyak kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah untuk menyelamatkan nyawa, termasuk mempersiapkan rencana pengelolaan gelombang panas, memastikan dan menguji penerapannya, memberi tahu publik tentang gelombang panas yang akan segera terjadi, dan melindungi orang yang rentan terhadap dampak gelombang panas.
"Gelombang panas dan peristiwa cuaca ekstrem lainnya hanya akan menjadi lebih intens karena dunia terus membakar bahan bakar fosil," kata Friederike Otto, seorang ilmuwan iklim di Institut Perubahan Iklim Grantham di Imperial College London, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Dunia Diterpa Gelombang Panas, Ilmuwan Ungkap Wilayah yang Paling Terdampak"