Wanita di Korsel pilih melajang. (Foto: Simon Shin/Getty Images) |
Semakin banyak negara dilanda krisis populasi karena warganya yang tidak ingin menikah dan memiliki anak. Pilihan ini didasari berbagai faktor, mulai dari karir sampai mahalnya biaya mengurus anak.
Dalam sebuah survei yang dilakukan tahun lalu oleh Kantor Koordinasi Kebijakan Pemerintah, 36,7 persen anak berusia 19-34 tahun menyatakan tidak ingin memiliki anak.
Diberitakan Al Jazeera, di antara wanita muda Korea Selatan, hanya 4 persen yang menganggap pernikahan dan peran sebagai orang tua sebagai hal yang penting, dengan lebih dari setengahnya menganggap tidak ada yang penting dalam hidup mereka, menurut data survei dari Asosiasi Korea untuk Studi Kesejahteraan Sosial.
Di Seoul, yang memiliki tingkat kelahiran terendah di antara kota dan provinsi di negara itu, enam dari 10 orang dewasa muda menanggapi dengan cara yang sama dalam sebuah survei oleh Seoul Foundation of Women & Family.
Pada tahun 2022, hanya ada 192.000 pernikahan di Korea Selatan, terendah sepanjang masa. Data terbaru dari Statistics Korea menunjukkan bahwa hanya 249 ribu bayi lahir di negara tersebut tahun lalu, turun dari 260 ribu tahun sebelumnya.
Para ahli sering menunjuk pada kebutuhan untuk mengatasi jaringan masalah yang rumit yang membuat keluarga tidak memiliki anak, termasuk budaya kerja yang melelahkan, biaya perumahan dan pendidikan yang sangat tinggi, dan ketidaksetaraan gender.
Dalam sebuah survei yang dilakukan untuk surat kabar Joongang Ilbo awal tahun ini, 27,4 persen responden mengatakan bahwa beban biaya pengasuhan anak adalah alasan utama rendahnya tingkat kelahiran. Alasan lain yang dikutip termasuk ketidakamanan pekerjaan, ketidakstabilan perumahan dan faktor ekonomi lainnya.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol baru-baru ini menyatakan negara telah membelanjakan 280 triliun won atau sekitar Rp 3,1 triliun untuk masalah tersebut selama 16 tahun terakhir telah gagal untuk mengatasi krisis tersebut.
Meskipun demikian, pemerintah telah menggandakan insentif keuangan.
Profesor Song Da-yeong, seorang profesor kesejahteraan sosial di Universitas Nasional Incheon, mengatakan tunjangan tunai bukanlah solusi jangka panjang.
"Membesarkan anak bukanlah masalah memberikan dukungan finansial selama dua tahun pertama kehidupan seorang anak," kata Song kepada Al Jazeera.
"Tidak mungkin memberikan tunjangan orang tua tingkat tinggi sampai seorang anak tumbuh dewasa," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Korsel Krisis Bayi, Cuma 4 Persen Warganya yang Mau Punya Anak"