Ribuan wanita di Jepang jadi korban sterilisasi paksa. (Foto: Reuters) |
Warga Jepang berang setelah laporan pemerintah mengungkap bahwa anak-anak berusia sembilan tahun termasuk di antara ribuan orang yang disterilkan secara paksa di bawah undang-undang eugenika yang tidak dicabut hingga tahun 1990-an.
Laporan setebal 1.400 halaman, merinci bagaimana, antara tahun 1948 dan 1996, sekitar 16.500 orang dioperasi tanpa persetujuan mereka berdasarkan undang-undang, yang bertujuan untuk "mencegah kelahiran keturunan berkualitas rendah ... hidup dan kesehatan ibu". Sebagian besar korban adalah wanita.
Sekitar 8 ribu orang lainnya memberikan persetujuan mereka, hampir pasti di bawah tekanan. Sementara hampir 60 ribu wanita melakukan aborsi karena penyakit keturunan.
Awal bulan ini, pengadilan tinggi menolak tuntutan ganti rugi dari dua wanita, termasuk Junko Iizuka, yang berusia 16 tahun ketika dia dibawa ke sebuah klinik di timur laut Jepang dan dipaksa menjalani operasi misterius yang, belakangan diketahuinya, akan mencegahnya dari memiliki anak.
"Operasi eugenika membuat saya kehilangan semua impian sederhana saya tentang pernikahan yang bahagia dan anak-anak," kata Iizuka, 77 kepada The Guardian dikutip Minggu (25/6/2023).
Iizuka, yang menggunakan nama samaran dan menyamarkan wajahnya dengan topi dan topeng di depan umum, mengatakan bahwa prosedur tersebut telah menghancurkan hubungan terpentingnya.
"Begitu saya memberi tahu suami saya, yang saya percayai, bahwa saya telah menjalani operasi dan tidak dapat memiliki anak, dia meninggalkan saya dan menuntut cerai," ujarnya.
"Saya menjadi sakit mental dan tidak dapat bekerja. Saya telah didiagnosis dengan gangguan stres pasca-trauma. Operasi Eugenika menjungkirbalikkan hidup saya," sambungnya.
Para korban program sterilisasi telah berkampanye selama beberapa dekade mencari ganti rugi finansial dan pengakuan atas penderitaan fisik dan mental yang mereka alami.
Seorang korban berusia 80 tahun, yang dipaksa menjalani operasi pada usia 14 tahun, mengatakan kepada media lokal bahwa laporan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah telah menipu anak-anak.
"Saya ingin negara tidak menutup-nutupi masalah ini, tetapi segera menganggap serius penderitaan kami," kata korban yang ingin dikenal sebagai Saburo Kita itu.
Kritik terhadap laporan tersebut mengatakan bahwa laporan tersebut tidak membahas mengapa butuh waktu hampir 50 tahun untuk membatalkan undang-undang tersebut. Itu juga tidak menjelaskan alasan di balik pembuatan undang-undang tersebut.
Sebelumnya, pada 2019 Tokyo telah meminta maaf dan setuju untuk membayar setiap orang yang selamat dari prosedur sterilisasi paksa itu sebanyak 3,2 juta yen atau sekitar 339 juta rupiah.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Wanita Jepang Jadi Korban Sterilisasi Paksa, Dibuat Mandul-Tak Bisa Punya Anak"