Timbangan berat badan. (Foto: Shutterstock/) |
Maraknya obat pelangsing dan treatment penurun berat badan terkadang memang menggiurkan, terlebih saat bobot tubuh terasa 'stuck' meski sudah melakukan sejumlah program diet dibarengi olahraga.
Namun, dr Lydia Liswojo Deputy Doctor of Slimming Centre Euromedica Group, dari European Slimming Centre (ESC) dan SLIM+ Clinic menyarankan masyarakat untuk memilah-milih cara aman memangkas BB.
Alias tidak sembarangan membeli produk tanpa mengetahui isi kandungan, komposisi, serta efek samping yang bisa ditimbulkan.
"Untuk homecarenya saja, misal vitamin, itu harus hati-hati karena kita harus tahu komposisinya apa, kandungannya apa, apakah sesuai indikasi atau kebutuhan, efek sampingnya seperti apa kita harus tahu, sedangkan kalau kita beli biasanya kan hanya slogan pasti turun dalam waktu seminggu," tuturnya saat ditemui di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (11/8/2023).
Pasalnya, pengaruh dari penurunan berat badan masing-masing orang relatif berbeda. Diperlukan inbody assesment oleh tenaga profesional untuk lebih dulu mengetahui berapa banyak kadar lemak dalam tubuh.
Menurut dr Lydia, bisa jadi dua pasien dengan BB yang sama, memiliki masalah berbeda.
"Misalnya ada dua orang yang sama-sama obesitas, atau dua orang yang sama-sama overweight, inbody assesment ternyata komposisi masa tulang, masa lemak, masa air misalnya, masa ototnya berbeda pada setiap orang," kata dia.
Karenanya wajar bila kerap ditemukan keluhan BB tak kunjung ideal pasca diet, kemungkinan obat yang dikonsumsi bukan menurunkan kadar lemak, melainkan kadar air dan sebagainya.
Bagaimana dengan Obat Pelangsing?
Obat pelangsing memiliki kandungan beragam, ada sejumlah obat yang memang hanya bisa dibeli berdasarkan anjuran dokter. Misalnya, obat yang berfungsi untuk menahan nafsu makan. Lantaran memiliki cara kerja langsung ke sistem saraf pusat, otomatis obat pelangsing satu ini tidak bisa dijual bebas tanpa resep dokter.
Jika obat semacam ini beredar luas dan asal dikonsumsi oleh banyak orang, risikonya menurut dr Lydia tidak main-main.
"Misalnya obat stimulan untuk mencegah nafsu makan yang fokus bekerja di sistem saraf pusat, itu kan meningkatkan heart rate, atau meningkatkan detak jantung, sementara pada pasien-pasien obesitas itu rentan yang namanya penyakit hipertensi, di mana saat kita konsumsi, heart rate kita naik," katanya.
"Itu bisa terjadi pecah pembuluh darah, ada kasus serangan jantung juga pernah terjadi, lalu pada pasien-pasien yang mengonsumsi obat antidepresan karena cara kerjanya di sistem saraf, saya juga pernah ketemu pasien mengalami efek kejang-kejang, belum lagi alergi setiap orang kan beda-beda," sambungnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Minum Obat Tahan Nafsu Makan demi BB Turun? Ini Kata Dokter Biar Tak Serangan Jantung"