Hagia Sophia

24 November 2023

Kisah Warga Yogya yang Hidup Berdampingan dengan Nyamuk Wolbachia

Ilustrasi nyamuk aedes Aegypti berwolbachia (Foto: Getty Images/iStockphoto/PongMoji)

Inovasi teknologi wolbachia yang dijalani pemerintah untuk memberantas demam berdarah dengue (DBD) belakangan kerap disorot publik. Adapun teknologi wolbachia yang dimaksud ini adalah nyamuk aedes aegypti yang diinfeksi dengan bakteri wolbachia untuk mengendalikan penyakit DBD.

Imbas munculnya teknologi tersebut, tak sedikit masyarakat yang mempermasalahkan dampak bagi kesehatan, bahkan ada yang menyebut senjata 'biologis'.

Kendati demikian, teknologi ini bukanlah serta-merta muncul begitu saja dan langsung diterapkan. Riset teknologi ini sudah dilakukan di Indonesia sejak 2011. Adapun fase pertama dari pengujian dilakukan untuk membuktikan keamanan dan kelayakan dari teknologi wolbachia.

Setelah itu, riset dilanjutkan pada fase kedua dengan pelepasan nyamuk berskala kecil, yakni di dua dusun di Sleman dan dua dusun di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pelepasan nyamuk tersebut juga tidak dilakukan secara serta-merta langsung disebar. Tetapi dilakukan dengan persetujuan etik dari penduduk sekitar.

Seorang tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Kota Yogyakarta, Totok Pratopo, menceritakan kesaksiannya saat tim World Mosquito Program (WMP) yang melakukan riset wolbachia itu melakukan uji coba di wilayah Yogyakarta pada 2017.

Ia mengaku banyak warganya yang awalnya bingung lantaran selama ini yang diajarkan untuk membasmi nyamuk pembawa virus dengue, penyebab DBD adalah dengan menerapkan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) Plus dan upaya lainnya di masyarakat. Namun, tim WMP tersebut tiba-tiba ingin memberantas nyamuk dengan metode melepaskan nyamuk baru.

"Kemudian saya tanyakan, saya minta jaminan andaikata nyamuk dilepas dan ada warga kami yang tertular DBD, apakah ada jaminan atau santunan dari tim ini? Dan waktu itu mohon maaf tidak ada jawaban yang memuaskan dan dikatakan riset ini baru berjalan," ucapnya dalam konferensi pers, Rabu (22/11/2023).

Bagi Totok meyakinkan masyarakat di awal penuh tantangan. Bagaimana tidak, selama ini masyarakat meyakini bahwa nyamuk adalah penyebab DBD. Namun, setelah dijelaskan dan yakin dengan penelitian ini, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Pamerti Code ini turut membantu para peneliti dalam meyakinkan masyarakat.

"Ini bukan penelitian sembarangan. Kami jadi saksi kesungguhan penelitian ini di laboratorium," jelas Totok.

Totok juga turut mengamati wilayahnya pada saat itu setelah melakukan uji coba metode wolbachia. Ia mengaku tak mendapatkan laporan sama sekali kasus DBD di wilayahnya. Padahal menurutnya, wilayah kampungnya itu padat warga, cenderung kumuh, dan sangat tinggi penularan DBD.

"Dan sampai detik ini di kampung saya di RW 5, 6, 7, yang menjadi bagian sampling kegiatan nyamuk aedes aegypti ber-wolbachia ini itu 0 kasus DBD," imbuhnya lagi.

"Sehingga pada 2019 saya tanyakan ke tim WMP, karena kami sering berhubungan sebab saya punya sekolah Sungai, tim WMP ini selalu saya undang menjadi tamu-tamu sekolah di depan sungai kami. Jadi bagian kurikulum silabusnya untuk mengusir DBD ini," katanya lagi.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Pengakuan Warga Yogyakarta, Hidup 'Berdampingan' dengan Nyamuk Ber-wolbachia"