Ilustrasi paru-paru. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Natali_Mis) |
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah di dunia mengatur regulasi terkait vape atau rokok elektrik. Badan PBB itu ingin aturan mengenai vape diatur ketat seperti rokok konvensional.
WHO juga telah merilis publikasi untuk membebaskan sekolah dari tembakau dan nikotin. Pihaknya menemukan adanya peningkatan penggunaan rokok elektrik dengan 9 dari 10 perokok mulai mencobanya sebelum usia 18 tahun. Beberapa di antaranya bahkan baru 11 tahun.
Produk-produk vape disebut sangat terjangkau bagi kaum muda karena banyak yang menjual produk sekali pakai. Kebanyakan rokok elektrik juga dijual tanpa label peringatan kesehatan.
"Jika kita tidak mengambil tindakan segera, kita berisiko melihat generasi berikutnya pengguna tembakau dan nikotin direkrut melalui praktik tidak etis yang dilakukan industri tembakau," kata Dr Hans Henri Kluge, Direktur Regional WHO Wilayah Eropa dikutip dari laman resmi United Nation.
Mengenai bahaya rokok elektrik, penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports mengungkap daftar bahan kimia yang terkandung dalam e-liquid dan pod beraroma yang digunakan dalam vaping, merinci efek berbahayanya terhadap jaringan paru-paru, termasuk peradangan dan kerusakan genetik yang dapat mengindikasikan risiko jangka panjang terhadap penyakit pernapasan dan bahkan kanker.
"Meskipun nama-nama seperti mangga, mentimun, dan mint memberikan kesan bahwa rasa dalam rokok elektrik tidak berbahaya, kenyataannya sensasi tersebut berasal dari bahan kimia," kata Irfan Rahman, Ph.D., profesor di Universitas Departemen Kedokteran Rochester Medical Center (URMC) dan penulis utama penelitian ini.
"Temuan ini menunjukkan bahwa paparan bahan kimia ini memicu kerusakan dan disfungsi pada paru-paru yang merupakan awal dari konsekuensi kesehatan jangka panjang," sambungnya.
Selain propilen glikol dan gliserin nabati, yang merupakan bahan dasar cairan vaping, dan nikotin, sebagian besar produsen tidak mengungkapkan senyawa kimia yang digunakan untuk menciptakan rasa pada produk vaping.
Di sisi lain, kasus paru-paru kolaps terkait vape juga banyak ditemukan, termasuk di Indonesia. Seorang pasien berusia 23 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya cairan di rongga pleura dan paru-paru bocor, tanpa ada bukti penyakit lain.
Setelah ditelusuri, pasien telah merokok selama 10 tahun sebelum beralih ke vape. Melihat tak ada riwayat TBC dan penyakit paru lainnya, pasien tersebut didiagnosis mengidap hidropneumothoraks yang dikaitkan dengan vape.
Meski vaping mungkin menawarkan alternatif bagi perokok berat untuk mengurangi penggunaan tembakau, penting untuk memahami bahwa penggunaannya bukan tanpa risiko. Untuk non-perokok, terutama remaja, memulai vaping bisa menjadi jalan menuju berbagai masalah kesehatan.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kenapa Vape Dilarang WHO? Ini Bahayanya Bisa Bikin Paru-paru Kolaps"