Ilustrasi COVID-19 (Foto: Getty Images/loops7) |
Setidaknya ada 65 juta orang di seluruh dunia mengidap efek jangka panjang COVID-19 atau disebut long COVID. Kondisi ini membuat pengidapnya terus mengalami gejala COVID-19 selama berbulan-bulan setelah gejala pertama kali muncul.
Gejala long COVID yang paling umum adalah kelelahan, pusing, masalah mobilitas, masalah tidur, gangguan kognitif, dan kabut otak atau ketidakmampuan berkonsentrasi. Gejala-gejala yang berkepanjangan ini dapat berdampak besar pada kehidupan seseorang yang mengalaminya.
Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Juni 2023 menemukan lebih dari separuh orang yang mengidap long COVID melaporkan bahwa pekerjaan, rumah, kehidupan sosial, dan kehidupan pribadi mereka sangat terpengaruh oleh gejala-gejala tersebut, dengan kelelahan menjadi masalah utamanya.
Para ilmuwan pada saat itu masih belum yakin alasan mengapa pengidap long COVID-19 mengalami kondisi tersebut. Kini para peneliti dari Amsterdam University Medical Center membantu memberikan beberapa jawaban melalui penelitian baru mereka.
Melalui studi yang diterbitkan jurnal Nature Communications, peneliti menemukan kelelahan yang dialami oleh mereka yang mengidap long COVID kemungkinan ada hubungannya dengan penyebab kondisi lainnya.
Prof Michèle van Vugt, profesor penyakit dalam di Amsterdam University Medical Center dan salah satu penulis utama penelitian mengatakan, ia dan rekannya memutuskan untuk mencari penyebab fisik dari kelelahan yang dialami oleh orang dengan long COVID
"Pasien jangka panjang COVID-19 itu seperti Anda dan saya sepenuhnya terintegrasi [ke dalam] masyarakat dengan pekerjaan, kehidupan sosial, dan kehidupan pribadi," jelas Prof van Vugt, dikutip dari Medical News Today.
"Setelah terinfeksi COVID, bagi sebagian dari mereka, tidak ada yang tersisa karena kelelahan yang luar biasa. Dan hal ini terjadi tidak hanya pada satu pasien tetapi lebih banyak lagi - terlalu banyak hanya karena alasan psikologis," imbuhnya lagi.
Untuk melakukan studi tersebut, para peneliti menganalisis biopsi otot dan sampel plasma darah yang diambil dari 25 orang pengidap long COVID dan 21 orang yang pernah mengidap COVID tetapi tidak mengalami long COVID. Peserta di kedua kelompok rata-rata berusia sekitar 41 tahun.
Semua peserta diminta mengikuti tes bersepeda selama kurang lebih 15 menit, bertujuan untuk mengeluarkan tenaga maksimal peserta.
Menurut peneliti, tes bersepeda tersebut menyebabkan gejala yang memburuk pada peserta dengan long COVID atau dikenal sebagai malaise pasca-aktivitas (PEM), yang mengakibatkan rasa lelah yang semakin parah hingga 7 hari setelahnya.
Para peneliti kemudian memeriksa sampel darah dan jaringan otot dari semua peserta satu minggu sebelum tes bersepeda dan satu hari setelahnya.
Mereka menemukan berbagai kelainan pada jaringan otot peserta long COVID, termasuk penurunan fungsi mitokondria otot. Dikenal sebagai "pembangkit tenaga sel", mitokondria bertanggung jawab menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan sel-sel tubuh.
"Jadi penyebab kelelahan itu memang biologis," jelas Prof van Vugt.
"Otak membutuhkan energi untuk berpikir. Otot memerlukan energi untuk bergerak. Penemuan ini berarti kita sekarang dapat mulai meneliti pengobatan yang tepat untuk mereka yang mengidap long COVID," katanya lagi.
Prof van Vugt mengatakan ia dan rekannya terkejut dengan temuan penelitian terkait kelainan jaringan otot.
"Namun, kami [kemudian] dapat memahami dengan lebih baik gejala kelelahan pada pasien," tambahnya.
Ketika ditanya tentang langkah selanjutnya yang direncanakan untuk penelitian ini, Prof van Vugt mengatakan ia dan rekannya berencana untuk memeriksa apakah perubahan otot yang sama dapat ditemukan pada pasien pasca infeksi lainnya.
Hal ini bertujuan untuk mengungkap penyebab perubahan pada otot tersebut, sehingga menghasilkan bukti studi konsep untuk pengobatan.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Lagi, Studi Baru Bawa Kabar Nggak Enak Buat yang Pernah Kena COVID"