Hagia Sophia

16 February 2023

Cerita Pasien TBC yang Resisten Obat, Sempat Tidak Miliki Harapan

Budi Hermawan, seorang penyintas TB RO (Foto: Averus Al Kautsar/detikHealth)

Adanya kasus tuberkulosis resisten obat (TB RO) menjadi tantangan tersendiri dalam pengobatan. TB biasa saja butuh pengobatan berbulan-bulan untuk sembuh, apalagi jika resisten alias kebal terhadap obat.

Penyakit menular tuberkulosis (TBC) saat ini menjadi salah satu penyakit yang peningkatan jumlah kasusnya menjadi sorotan pemerintah. Mirip COVID-19, penyakit TBC ini juga menular melalui droplet atau air liur dari pengidapnya.

Beragam faktor melatarbelakangi tingginya kasus TBC di Indonesia hingga kini jumlah kasusnya menempati urutan ke-2 terbanyak di dunia setelah India. Mulai dari stigma yang melekat di masyarakat hingga pengobatan yang memakan waktu sangat lama.

Hal itu dirasakan juga oleh Budi Hermawan, seorang penyintas TBC yang juga Direktur Ketua Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB Indonesia. Budi sudah divonis positif TBC semenjak 2001 dan harus melakukan pengobatan selama belasan tahun lamanya.

"Saya sakit TB itu sudah dari tahun 2001, jauh banget. Jadi tahun 2001 itu sudah pengobatan sampai 2011 itu hampir 10 tahun pengobatan TB-nya," ucap Budi saat ditemui detikcom di Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2023).

Setelah melakukan proses pengobatan pertama hampir 10 tahun, rupanya Budi mengidap tuberkulosis resisten obat (TB-RO). Pada kondisi ini, bakteri TBC yang ada di tubuhnya sudah kebal dengan pengobatan TB pertama.

"Pengobatan nggak sembuh-sembuh akhirnya dipindah dokter. Nah, itu sudah mulai ada pengobatan TB-RO di RS Persahabatan," jelas Budi.

"Itu kan 'mahadewa'-nya penyakit TB. Obat TB itu INH (Isoniazid) dan itu sudah resisten. Karena tadinya gagal-gagal pengobatan jadi harus menggunakan obat lini dua. Obat lini dua itu sekarang itu digunakan untuk TB-RO harganya sampai 200 juta tapi gratis karena ada program," sambungnya.

Pengobatan TB-RO yang dijalani oleh Budi memberikan dampak besar pada kehidupan pribadinya. Efek samping dari obat yang Budi konsumsi membuatnya tidak bisa bekerja hingga 24 bulan.

"Dan itu luar biasa efek sampingnya jadi saya nggak bisa kerja, jadi secara ekonomi juga hancur gitu kan. Itu harus berjalan 24 bulan," ungkapnya.

Walau begitu, setelah melakukan serangkaian tahapan pengobatan TBC yang panjang, akhirnya Budi bisa merasakan kesembuhan.

"Dari tahun 2011 sampai 2013 itu saya sembuh sampai sekarang, di bulan pertama (pengobatan TB-RO) saja saya sudah negatif. Sedangkan di 10 tahun itu nggak negatif-negatif positif terus," cerita Budi.

Stigma yang Dialami Budi Hermawan

Ketika pertama kali divonis mengidap TBC tahun 2001, Budi menceritakan jika dirinya sempat menghadapi pengalaman tak mengenakkan karena stigma yang ada pada pengidap TBC. Namun Budi memaklumi hal tersebut karena keterbatasan informasi soal TBC yang ada pada saat itu.

"Di tahun 2001 itu alat makan saya dipisah sama keluarga. Gelas saya itu dicat hitam di bawahnya, piring saya dicat hitam, semua dipisah-pisahin. Karena saya juga nggak tahu. Nyucinya pun dipisah baju saya," ungkap Budi.

"Yasudahlah, kita kan masa itu kita juga nggak tahu (info soal TBC) karena di saat itu belum sekarang ini seperti internet kita bisa banyak cari tahu informasi," sambungnya lagi.

Sempat Tak Miliki Harapan

Budi menjalani pengobatan hingga belasan tahun lamanya. Ketika menjalani pengobatan yang tak sebentar itu, Budi mengaku sempat hilang harapan.

"Saya sebenarnya harapan yang (pengobatan) 10 tahun (pertama) itu sudah hilang. Saya nggak akan tinggal lama lagi," cerita Budi.

"Tapi begitu dapat kabar dari dokter waktu itu ada pengobatan TB-RO (dapat harapan untuk sembuh lagi). Alhamdulillah dengan berjalannya waktu beberapa teman yang lebih senior tapi bareng minum obat dia mulai sembuh. Saya pikir dengan melihat (orang lain) sembuh aja itu secara psikologi itu sangat membantu mental. Jadi dapat semangat, 'oh ternyata bisa sembuh'," pungkasnya.























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kisah Pasien TB Resisten Obat, Belasan Tahun Terapi demi Kalahkan Bakteri"