Anjloknya angka kelahiran di Jepang sedang menjadi perhatian. Foto: Issei Kato/Reuters |
Jepang mencatat rekor angka kelahiran terendah pada 2022, tercatat sebagai angka paling anjlok sejak pencatatan pertama pada 1899. Data awal oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan , jumlah total kelahiran turun 5,1 persen menjadi 799.728. Padahal pada 2018, pemerintah memprediksi angka kelahiran baru akan mencapai penurunan di bawah 800 ribu pada 2033.
Menurut Partai Demokrat Liberal (LDP) dari Majelis Prefektur Mie, Narise Ishida, penurunan tersebut terjadi bukan karena mahalnya kebutuhan keluarga. Melainkan, karena berkurangnya 'kemampuan romantis' orang di Jepang. Namun, Narise juga tidak merinci lebih lanjut bagaimana data ini dapat membuat orang-orang berminat untuk memiliki lebih banyak bayi.
"Angka kelahiran tidak menurun karena biaya untuk memiliki anak. Masalahnya, asmara sudah menjadi hal yang tabu sebelum menikah," ujar Ishida dikutip dari First Post, Kamis (2/3/2023).
Angka kelahiran di Jepang memang sedang menurun drastis. Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida lantas memerintahkan langkah-langkah peningkatan untuk mendorong masyarakat memiliki lebih banyak anak.
Profesor media dan komunikasi Hokkaido Bunkyo University Makoto Watanabe pun menyebut bahwa apa yang diucapkan Ishida ada benarnya.
"Dia mungkin benar dalam satu hal, bahwa anak muda saat ini tidak memiliki keterampilan komunikasi tradisional, tetapi ini adalah generasi yang berkomunikasi dengan sangat baik secara online dan melalui media sosial," ucap Watanabe.
"Di antara murid-murid saya, saya melihat mereka terus-menerus menunjukkan 'kemampuan romantis' melalui teknologi modern, yang mungkin menjadi alasan mengapa Ishida tidak dapat melihatnya terjadi," sambungnya.
Walaupun begitu, Watanabe sangat tidak setuju soal pandangan Ishida soal kondisi keuangan tidak berperan dalam keputusan seseorang untuk memiliki anak.
"Anak muda masih ingin menikah, berkeluarga, punya anak lagi, tapi kalau beli mobil atau rumah susah karena masalah ekonomi, susah sekali punya anak," jelas Watanabe.
Banyak Masyarakat Jepang Malu Tunjukkan Momen Romantis
Apa yang diungkapkan Ishida bisa dikatakan masuk akal apalagi bila melihat negara Jepang yang sebagian besar masih konservatif.
Siswa asal Yokohama, Emi (20) mengaku merasa malu untuk menunjukkan momen romantis bersama pasangan di tempat umum.
"Saya pikir menjadi romantis di tempat umum itu memalukan karena orang lain akan melihat Anda dan beberapa orang tidak suka melihat itu," ucapnya.
"Kami melihat orang-orang di negara lain berpegangan tangan, berpelukan, atau berciuman di tempat umum di film atau televisi. Tapi saya akan sangat tidak nyaman jika pacar saya melakukan itu pada saya di depan umum," sambungnya.
Selain itu, kebanyakan wanita Jepang juga enggan menikah. Banyak wanita Jepang yang tidak melihat pernikahan sebagai tujuan hidup. Karena adanya peningkatan pesat dalam peran gender, wanita muda di Jepang cenderung memilih bekerja daripada memiliki anak.
Sejak akhir tahun 1980-an, wanita yang mendaftar ke perguruan tinggi telah mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, angka tersebut sudah mencapai 51 persen.
Sementara itu, tenaga kerja wanita usia 25-29 tahun juga meningkat dari 45 persen di tahun 1970 menjadi 87 persen pada tahun 2020.
Upaya Pemerintah Jepang
Untuk menangani permasalahan angka kelahiran yang begitu rendah, PM Jepang mengumumkan rencana untuk membelanjakan dua kali lipat anggaran pertahanan negara untuk mendukung pasangan muda yang ingin memiliki bayi.
Untuk melakukan kebijakan tersebut, Kishida mengatakan bahwa pihaknya akan mengeluarkan 20 triliun yen untuk program kelahiran bayi di Jepang termasuk untuk petugas dukungan pernikahan. Petugas dukungan tersebut berguna untuk menawarkan bantuan dan konseling pada pasangan.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Warga Kurang Bisa Romantis Diduga Pemicu Angka Kelahiran Jepang Anjlok"