(Foto: Getty Images/iStockphoto/Hailshadow) |
Ghana menjadi negara pertama di dunia yang menyetujui vaksin malaria baru dari Universitas Oxford. Hal tersebut dinilai sebagai langkah maju yang potensial untuk memerangi penyakit yang selama ini memakan ratusan ribu korban jiwa setiap tahunnya.
Persetujuan yang dilakukan Ghana tersebut dianggap tidak biasa. Hal itu karena persetujuan diberikan sebelum hasil data uji coba tahap akhir dipublikasikan.
Belum diketahui secara jelas kapan vaksin ini diluncurkan di Ghana, karena beberapa pihak termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih melakukan penilaian akan keamanan dan efektivitasnya.
Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk tersebut sudah memakan korban jiwa hingga 600.000 setiap tahunnya. Kebanyakan pasien malaria berasal dari anak-anak di Afrika.
Ilmuwan Oxford Adrian Hill mengatakan regulator obat-obatan di Ghana sudah menyetujui vaksin di dalam negeri untuk kelompok usia dengan risiko kematian tertinggi. Mereka adalah anak-anak berusia 5 bulan hingga 36 bulan.
Oxford memiliki kesepakatan dengan Serum Institute of India untuk memproduksi 200 juta dosis vaksin yang dikenal dengan R21 setiap tahunnya.
Hill menjelaskan bahwa ini pertama kalinya negara di Afrika menyetujui vaksin lebih dulu dibanding negara maju lainnya. Keputusan Ghana untuk menyetujui vaksin malaria sebelum publikasi uji coba tahap akhir juga jarang terjadi.
"Terutama sejak COVID, regulator Afrika telah mengambil sikap yang jauh lebih proaktif, mereka mengatakan, 'kami tidak ingin menjadi yang terakhir dalam antrean'," kata Hill dikutip dari Reuters, Jumat (14/4/2023).
Vaksin membutuhkan waktu puluhan tahun proses pengembangan mengingat struktur dan siklus hidup parasit malaria yang rumit. Vaksin Oxford adalah vaksin malaria kedua dalam beberapa tahun terakhir yang disetujui untuk digunakan.
Vaksin anak untuk negara-negara miskin di Afrika biasanya didanai oleh organisasi internasional seperti aliansi vaksin Gavi. Namun dana tersebut baru keluar setelah persetujuan WHO.
Ghana menggunakan dana dari Gavi untuk kampanye vaksinnya, meskipun sedang bergerak sendiri untuk membeli vaksin setelah pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
Direktur Pelaksana Gavi, Dr Derrick Sim mengatakan bahwa pihaknya akan menyediakan dana untuk R21 jika WHO sudah mendukungnya.
"Ini menunjukkan betapa dekatnya dunia dengan vaksin kedua yang disetujui untuk melawan malaria," tuturnya.
Adapun vaksin malaria pertama Mosquirix buatan pabrik asal Inggris GSK didukung oleh WHO setelah bekerja puluhan tahun. Namun kurangnya dana dan potensi komersial menggagalkan kapasitas GSK untuk memproduksi dosis yang dibutuhkan, sehingga membutuhkan kandidat lain untuk memproduksi vaksin malaria.
GSK telah berkomitmen untuk memproduksi hingga 15 juta dosis Mosquirix setiap tahun hingga 2028. Jauh di bawah sekitar 100 juta dosis setahun dari vaksin empat dosis yang menurut WHO diperlukan dalam jangka panjang untuk melindungi sekitar 25 juta anak.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Negara Ini Jadi yang Pertama di Dunia Setujui Vaksin Malaria Buatan Oxford"