Ilustrasi dokter korban bullying. (Foto: Getty Images/iStockphoto/bojanstory) |
Dalam forum diskusi terbuka soal RUU Kesehatan Omnibus Law, seorang dokter umum blak-blakan mengaku sempat menjadi korban bullying. Hal itu dialaminya semasa mengemban program pendidikan dokter spesialis (PPDS) atau dokter residen.
Dokter yang enggan menyebutkan namanya itu memilih 'resign' sebagai mahasiswa PPDS di 2023. Bukan tanpa sebab, ia kerap mendapatkan kekerasan verbal hingga psikis sampai mengganggu kejiwaannya.
"Saya dokter umum dari Jawa, mantan residen, mantan mahasiswa PPDS, calon dokter spesialis, yang per tahun 2023 ini terpaksa mengundurkan diri dari PPDS karena saya mengalami kejadian bullying cukup parah dan terus menerus," curhatnya langsung ke Menkes, seperti yang disiarkan di YouTube @Asclepio Masterclass, dikutip detikcom Minggu (20/4/2023).
Ia tak menyangka tempat prodi yang dipilih memiliki kultur 'pendidikan' yang keras. Jauh daripada yang dibayangkan, hingga menurutnya di luar batas kewajaran.
Saat pertama kali masuk, dirinya mengaku sudah diundang dalam sebuah chat group WhatsApp dengan para senior. Di sana, ia dimarahi, dihina, serta mendapat 'perintah' aneh-aneh.
"Misalnya besok paginya jam 6 pagi lari sampai berapa km, sejak diterima saya juga sudah sering dihukum hanya karena masalah sepele, seperti telat balas chat atau typo satu huruf di chat saja sudah bisa jadi alasan kakak kelas menghukum saya," kata dia, dalam diskusi yang juga dihadiri Menkes Budi Gunadi Sadikin.
"Nah saya sebagai kakak angkatan di dalam PPDS pun kami sudah diajarkan doktrin senioritas di mana saya tuh sebagai residen yang diterima itu harus 100 persen nurut," sambungnya.
Artinya, apapun yang diminta senior wajib dituruti. Bak 'haram' hukumnya menolak perintah senior dengan apapun alasannya.
Ia sendiri sempat disuruh membelikan barang belanjaan, makanan mahal, rokok, alat tulis, obat-obatan.
"Bisa saja jam 12 disuruh belikan apa, antar ke RS, jam 2 pagi belikan apa antar ke RS, atau datang buat bantu di bangsal padahal bukan waktu jaga kita."
Permintaan semacam itu menurutnya malah dianggap wajar di kalangan dokter, tidak jarang para residen disuruh menjemput senior jam dua pagi di airport atau bandara. Karenanya, dokter tersebut memilih berhenti menjalani PPDS setelah dirinya juga disebut mengidap post traumatic stress disorder.
"Semua yang dikerjakan tidak mempertimbangkan jadwal tidur kita walaupun kita habis jaga lebih dari 24 jam, kita tetap harus nurut sama kakak kelas."
"Saya akhirnya memutuskan untuk keluar dari PPDS karena kesehatan fisik dan mental saya terganggu, bahkan saya juga rutin konseling sama dokter dan psikiater karen PTSD, gangguan cemas," tutupnya.
Ia berharap permasalahan semacam ini bisa dicegah, di setiap prodi FK dengan memastikan ada pihak yang berperan sebagai supervisi. Supervisi yang berfungsi untuk memantau, mengevaluasi, serta memastikan PPDS berjalan baik, tanpa bullying.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Curhat ke Menkes, Dokter Tak Tahan Dibully hingga Resign Jadi Residen"