Pengesahan RUU Kesehatan di sidang paripurna. (Foto: Ari Saputra) |
Penolakan disahkannya UU Kesehatan baru juga datang dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI). Mereka mengecam keras langkah DPR yang resmi mengesahkan Omnibus Law RUU Kesehatan menjadi UU di Selasa (11/7/2023).
Hal ini dilatarbelakangi penghapusan mandatory spending sektor kesehatan sebesar 10 persen dari APBN dan APBD. Catatan lain yang kemudian disorot adalah sejumlah kebijakan yang tidak memprioritaskan kelompok rentan, hingga nihilnya pasal pengaturan iklan, promosi, dan sponsorship tembakau.
"Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang membuktikan pemerintah dan DPR RI mengabaikan aspirasi masyarakat sipil. Kami mengecam proses perumusan undang-undang yang seharusnya inklusif, partisipatif, transparan, dan berbasis bukti," ungkap Diah Satyani Saminarsih, Founder dan CEO CISDI.
Diah menilai proses penyusunan RUU Kesehatan terbilang tertutup lantaran tidak ada informasi ke publik soal naskah final yang sudah disahkan menjadi UU.
"Selepas Komisi IX DPR menggelar rapat kerja pengambilan keputusan RUU Kesehatan bersama pemerintah di Gedung DPR, Senin, 19 Juni 2023, naskah terbaru masih tak jelas keberadaannya," beber Diah.
Nihilnya mandatory spending disebut Diah membuktikan tidak ada jaminan hingga komitmen perbaikan pemerintah menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat dan daerah. Selama ini, realitas di lapangan diyakininya memprihatinkan. Sebab, pembangunan kesehatan nasional prioritas banyak yang sulit terlaksana akibat keterbatasan anggaran.
Di sisi lain, RUU Kesehatan disebut Diah juga belum memberikan penguatan kader kesehatan lewat pemberian insentif secara layak baik dari upah dan non-upah.
"RUU yang telah disahkan ini juga belum melembagakan peran kader sebagai sumber daya manusia kesehatan (SDMK), tepatnya tenaga pendukung atau penunjang kesehatan seperti yang
direkomendasikan WHO," kata Diah.
Karenanya, ada dua poin yang didesak CISDI pasca pengesahan UU Kesehatan baru yakni sebagai berikut:
Mengecam keras Pemerintah dan DPR RI yang tidak melibatkan publik secara bermakna, inklusif, partisipatif, dan berbasis bukti dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Kesehatan.
Mendesak Presiden untuk meninjau dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Kesehatan yang baru saja disahkan DPR RI.
Pengganti mandatory spending ke depan adalah pendekatan mekanisme anggaran berdasarkan program.
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menjelaskan pertimbangan mekanisme alokasi anggaran baru ini dirumuskan pasca mempelajari spending kesehatan di berbagai negara.
"Kita mempelajari di seluruh dunia mengenai spending kesehatan. Negara paling besar spendingnya Amerika, itu US$ 12.000, rata-rata usianya 80. Kuba dengan US$ 1.900 rata-rata usianya juga 80. Apa yang kita pelajari dari situ? Besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome. Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya semakin baik," ujarnya saat ditemui di Senayan, Selasa (11/7/2023).
Alih-alih fokus ke besaran dana yang dianggarkan, masyarakat harus disebutnya perlu fokus kepada outcome yang dihasilkan, yaitu untuk menjadi lebih sehat.
"Kenapa orang spend buat kesehatan? Karena pengen sehat. Kenapa pengen sehat? Karena nggak mau meninggalnya cepat," imbuhnya.
"Jadi di seluruh dunia orang sudah melihat, harus fokusnya bukan ke spending, fokusnya ke outcome. Fokusnya bukan ke input, fokusnya ke output," sambungnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Catatan CISDI soal Pengesahan RUU Kesehatan, Singgung Pengaturan Iklan Rokok"