Ilustrasi deteksi kanker paru. (Foto: Getty Images/iStockphoto/Natali_Mis) |
Sekitar 90 persen pasien kanker paru di Indonesia terlambat didiagnosis, kebanyakan dari mereka sudah di fase stadium lanjut sehingga peluang kesembuhan menjadi lebih rendah. Dari total 35 ribu kasus baru kanker paru di Indonesia, 30 ribu di antaranya meninggal dunia berdasarkan data Globocan 2020.
Executive Director di Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) Prof Dr dr Elisna Syahruddin, SpP(K), PhD, Executive Director di Indonesian Association for the Study on Thoracic Oncology (IASTO) menyebut hal itu menandakan skrining hingga deteksi dini selama ini masih diabaikan.
"Indonesia memiliki beban kesehatan besar untuk tatalaksana kanker paru tapi kematian akibat kanker paru tetap tinggi. Salah satu faktor tingginya angka kematian ini adalah sebagian besar penyakit didiagnosis pada staging lanjut," bebernya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (23/8/2023).
Maka usaha untuk menurunkan angka kematian ini dg terapi yang cepat dan tepat. Semua modalitas terapi telah tersedia, namun cara lain yg berefek positif dengan menemukannya dan memastikan diagnosis sedini mungkin melalui program skrining dan deteksi dini," sambung dia.
Prof Elisna kini mendorong pendeteksian kanker paru tidak lagi hanya melalui X-ray dada tradisional, melainkan menggunakan prosedur yang dinilai lebih canggih. Dikenal sebagai tomografi komputer berdosis rendah (LDCT).
Hal ini disebutnya berpengaruh pada penilaian risiko. Berdasarkan uji klinis di Amerika Serikat dengan melibatkan lebih dari 50.000 peserta, kematian akibat kanker paru disebut relatif menurun sekitar 20 persen dengan skrining LDCT, 247 kematian per 100.000 orang per tahun, dibandingkan dengan X-ray dada atau 309 kematian per 100.000 orang dalam satu tahun, karena deteksi kanker lebih awal.
Dengan terobosan teknologi baru, skrining kanker paru juga dapat dibantu dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), yang melibatkan penggunaan algoritma komputer.
AI dalam hal ini berfungsi untuk menganalisis data gambar medis, seperti CT scan atau X-ray dada, hingga gambar relevan lainnya. Algoritma kecerdasan buatan ini dinilai membantu mendeteksi nodul paru-paru, lesi, atau pola mencurigakan yang dapat mengindikasikan keberadaan kanker paru pada populasi berisiko tinggi.
Prof Elisna meyakini algoritma AI dapat dilatih untuk mendeteksi dan menyoroti nodul atau lesi paru-paru dalam gambar medis. Mereka dapat membantu radiologis dalam mengidentifikasi pertumbuhan yang berpotensi kanker pada tahap awal.
"Kunci untuk mengurangi kematian akibat kanker paru di Indonesia adalah deteksi dini, yang memungkinkan para penyedia layanan kesehatan untuk menawarkan perawatan yang paling sesuai untuk pasien. Dengan deteksi lebih awal, ada juga peluang penyembuhan yang lebih besar. Di Indonesia, sangat penting bahwa skrining LDCT digunakan sebagai alat skrining utama dan sinar-X dada dapat didukung oleh kecerdasan buatan untuk perokok aktif dan perokok pasif berusia 45-75 tahun, dengan riwayat keluarga menderita kanker paru-paru, jika kita ingin segera menyelamatkan lebih banyak nyawa dari kanker paru," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Deteksi Kanker Paru Sudah pakai AI Nih, Dokter RI Kapan Ikutan?"