Ilustrasi. (Foto: Dok. Shutterstock) |
Geger aksi tipu daya dokter gadungan di Surabaya, Susanto, baru-baru ini terbongkar. Hanya berbekal ilmu kesehatan dari internet dan identitas comotan dari seorang dokter asli di Bandung, pria tamatan SMA ini bisa berpraktik selama dua tahun di sebuah klinik.
Semua bermula ketika perusahaan yang menaungi tempat Susanto bekerja, PT Pelindo Husada Citra (PHC) Surabaya tengah mengecek data untuk perpanjangan kontrak kerja. Saat itu pihak PHC menemukan, ada ketidaksesuaian hasil foto dengan Sertifikat Tanda Registrasi yang dikirimkan oleh Susanto.
Dari situ barulah ketahuan, identitas yang dipakai oleh Susanto sebenarnya milik dr Anggi Yurikno, seorang dokter betulan di Rumah Sakit Umum Karya Pangalengan Bhakti Sehat Bandung.
Kasus ini jelas menuai tanda tanya dari banyak pihak. Tak hanya perihall bagaimana Susanto bisa menjalani aksinya sampai bertahun-tahun, melainkan juga bagaimana Susanto bisa tembus bekerja sebagai dokter di klinik. Apakah tidak ada seleksi yang ketat hingga akhirnya dokter gadungan bisa bekerja di sana, bahkan sampai bertahun-tahun?
Anggota Biro Hukum Pembinaan dan pembelaan Anggota (BHP2A) PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Dewa Nyoman Sutayana menjelaskan, fasilitas kesehatan yang 'menampung' Susanto berisiko mengalami kerugian berupa akreditasi yang buruk.
"Kerugian bagi faskes, berpengaruh terhadap akreditasi itu pasti kalau ketahuan. Tapi kan dalam case ini kadang-kadang apakah tahun kejadiannya sama dengan tahun akreditasi? Jadi kalau ditanya apakah berpengaruh, ya pasti berpengaruh. Dengan catatan, ya kalau ditemukan. Mungkin kalau ditemukan saat akreditasi akan lebih cepat kasus ini terangkat," ungkapnya dalam konferensi pers, Kamis (15/9/2023).
Selain itu, pihak faskes tersebut juga bisa mendapatkan sanksi perdata. Namun, sanksi ini hanya bisa diberikan jika ada pihak yang menggugat.
"Sanksi yang diterima oleh faskes, tergantung nih. Tapi kemungkinan besar adalah sanksi perdata. Jadi karena dia mempekerjakan, lalai dalam mempekerjakan, lalai dalam tidak melakukan verifikasi, apabila terbukti tergantung sanksi biasanya perdata. Itu pun kalau ada gugatan," beber dr Dewa.
"Kalau faskes itu yang saya pahami adalah kalau memang terkait tenaga medis, mempekerjakan tenaga medis yang tidak ada SIP. Tapi kalau kasus seperti ini, biasanya sanksinya adalah perdata," pungkasnya.
Dalam kesempatan tersebut juga, ia menyinggung memang ada celah yang membuat Susanto bisa menjalankan aksinya. Tak lain, kondisi pandemi yang membuat prosedur penerimaan dokter menjadi tidak bertatap muka.
"Pada dasarnya sistemnya sudah berlapis-lapis, sudah bagus sudah berlapis-lapis. Artinya, tidak mudah untuk seseorang bisa masuk ke dalam suatu fasilitas kesehatan kemudian berpraktik. Disinggung juga oleh dr Adib, ada proses kredensial. Celahnya sempit sebenarnya," bebernya.
"Ada informasi karena kondisi COVID. Dari yang biasa tatap muka kemudian menjadi daring," pungkas dr Dewa.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Geger Dokter Gadungan Surabaya Sempat 'Praktik' 2 Tahun, Klinik Bakal Dapat Sanksi?"