Ramai-ramai warga berobat ke luar negeri, ini salah satu alasannya. (Foto ilustrasi: iStock) |
Presiden Joko Widodo belakangan kembali menyoroti lebih dari 2 juta warga di Indonesia berobat ke luar negeri. Kurang lebih 100 triliun rupiah dikeluarkan masyarakat untuk menjalani perawatan di Malaysia, Singapura, hingga negara lain.
Pemicu warga ramai-ramai mencari pengobatan ke luar negeri salah satunya dikaitkan kelengkapan obat-obatan. Jika dirinci, ketersediaan obat baru menurut studi Pharmaceutical Research dan Manufacturers America (PhRMA), Indonesia berada di bawah rata-rata ketersediaan obat-obatan baru antarnegara Asia Pasifik.
Posisinya bahkan setara dengan Vietnam dan Bangladesh, yakni hanya sembilan persen dari ketersediaan obat baru yang tersedia di Indonesia, atau 41 dari 460 obat baru per 2021.
"Studi ini juga menunjukkan bahwa obat-obatan baru dan inovatif perlu memakan waktu rata-rata 40 bulan pasca diluncurkan pertama di global sebelum akhirnya masuk ke pasar Indonesia dan dapat diakses oleh pasien," demikian laporan tahunan International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG), dikutip Jumat (10/11/2023).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ali Ghufron Mukti menyebut percepatan perluasan akses obat selama ini berkaitan dengan terbatasnya dana juga sumber daya lain. Karenanya, diperlukan health technology assessment (HTA) untuk melihat sisi cost effective.
"Intinya bahwa BPJS Kesehatan itu karena sumber daya, termasuk uang itu selalu terbatas, sedangkan kebutuhan termasuk obat alat itu selalu tidak terbatas, maka harus dipilih yang cost effective. nah untuk tahu ini cost effective apa nggak, perlu dilakukan HTA, tapi HTA itu sendiri terbatas," beber Prof Ghufron saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (10/11).
"Maka BPJS kadang-kadang membiayai, contohnya ini akupunktur, kami biayai," sebut dia.
Penerapan HTA disebutnya perlu diperkuat dari persoalan kebijakan juga pelaksanaan di lapangan. Termasuk pentingnya melihat evidence based dalam setiap obat.
Berobat ke Luar Negeri
Di sisi lain, IPMG melaporkan minimnya pasokan obat baru di Indonesia berdampak pada kualitas layanan, juga hilangnya pariwisata medis yang konon mencapai USD 12 hingga 48 miliar. Namun, tantangan lain disebut Prof Ghufron tidak hanya terbatas pada ketersediaan obat.
"Orang berobat ke LN, tidak hanya karena obat. Banyak faktor, contohnya di Medan, saya nanya sendiri, ibu kenapa harus ke luar negeri? Ke Penang, Malaysia. Lebih dekat, biasanya kan," imbuhnya lagi.
"Tapi dia bilang, saya ini diminta oleh dokternya, lah artinya apa? Pelayanan? Bukan. Orang berobat ke luar negeri tidak semata-mata karena obat, ada saja orang berobat ke LN biar tidak diganggu, karena kalau di sini yang jenguk saya banyak, saya orang terkenal umpamanya, jadi faktornya terlalu banyak, dan itu harus diurai kalau kita mengurangi orang ke luar negeri," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Kendala Obat di Balik Tren Ramai-ramai Warga RI Berobat ke LN"