Hagia Sophia

06 April 2024

Tren Menikah Menurun: Tahun 2018 Berada di Bawah 20 Tahun, Kini 2023 Menjadi 22 Tahun

ilustrasi (istimewa)

Pertanyaan 'kapan kawin' kerap muncul di tengah momen Lebaran. Entah hanya sekadar obrolan basa-basi, atau sebenarnya memang menjadi kekhawatiran sejumlah orang.

Terlebih, secara biologis usia ideal seseorang untuk menikah misalnya wanita, saat ingin memiliki anak, dianjurkan tidak melampaui 35 tahun. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), hal ini berkaitan dengan risiko tinggi kehamilan bila sudah berusia di atas usia tersebut, termasuk kondisi preeklamsia hingga risiko anak terlahir stunting atau mengalami gangguan pertumbuhan fisik maupun otak.

Faktanya, pertanyaan kapan menikah tahun ini jelas dibarengi dengan tren pergeseran usia kawin yang semakin mundur. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo sebelumnya mengungkap tren menikah dari semula berada di bawah 20 tahun pada 2018, kini di 2023 menjadi rata-rata 22 tahun.

Angka Kesuburan Menurun

Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 juga melihat penurunan angka perkawinan cukup signifikan. Dalam kurun 10 tahun terakhir jumlah perkawinan berkurang 28 persen.

Hasto menilai, data ini juga didukung oleh angka kesuburan atau total fertility rate (TFR) yang mulai dilaporkan berada di angka 2,1 di 2023.

"Analisis saya memang ini cocok dengan yang namanya total fertility rate (TFR), itu artinya rata-rata perempuan melahirkan berapa anak rata-rata perempuan, ini kan kalau di 2017 angkanya masih cukup tinggi 2,4 hampir 2,5, sekarang di 2,1" sebut Hasto saat dihubungi detikcom belum lama ini.

"Ternyata perempuan dengan jumlah anaknya menurun lebih cepat daripada ekspektasi pemerintah," sambung dia.

Efek yang Bisa Terjadi

Tren angka kesuburan disebut Hasto bisa jadi terus menurun. Efeknya jelas berdampak pada melambatnya laju pertumbuhan penduduk.

Otomatis, generasi emas yang diwacanakan 2035 mendatang bisa ikut terganggu. Pasalnya, untuk mempertahankan jumlah populasi ideal, TFR sebaiknya tidak berada di bawah 2,1.

Hal yang kemudian dikhawatirkan Hasto, peluang untuk nantinya menjadi negara maju tertutup imbas minus growth pasca Indonesia menghadapi perlambatan laju penduduk.

"Kalau ini terlalu cepat kan bonus demografinya kan cepat menutup, ya karena kalau ini terlalu cepat jumlah anak turun drastis," sambungnya.

Secara umum, penyebab angka perkawinan menurun di Indonesia relatif tidak jauh berbeda seperti apa yang terjadi di banyak negara maju. Hal ini banyak berkaitan dengan kondisi finansial, sampai masalah pendidikan, dan pengaruh tempat tinggal.

Dari segi pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai, semakin besar kemungkinan orang tersebut hanya memiliki satu anak atau bahkan tidak memiliki anak.

"Sebetulnya bukan semakin pendidikan tinggi, ekonomi cukup, anaknya banyak, karena daerah-daerah yang agak ketinggalan itu cenderung anaknya lebih banyak, kawinnya banyak," terang dia.


























Artikel ini telah tayang di health.detik.com dengan judul "Populasi Terancam Menyusut, Tanya 'Kapan Kawin' saat Lebaran Makin Relevan?"